All hands,
Seperti telah ditulis sebelumnya, saat ini Angkatan Laut harus pandai-pandai menyeimbangkan antara tugas menjaga good order di laut dengan peran militer untuk siap berperang ketika dibutuhkan. Tugas-tugas yang terkait good order di laut kini lebih mendominasi banyak Angkatan Laut di dunia, namun peran militer untuk berperang tidak dapat dikesampingkan begitu saja, sebab konflik bersenjata dapat muncul kapan saja dan di mana saja. Antara tuntutan dua arus yang berbeda itu, mau tidak mau kapal perang Angkatan Laut harus fleksibel dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga tidak jarang kapal perang dengan sistem senjata yang modern dan canggih harus melaksanakan operasi-operasi yang terkait dengan ancaman asimetris, sehingga terkesan tidak berimbang antara sistem senjata yang disandang dengan operasi yang dilakukan.
Dinamika demikian justru ditangkap dengan jeli oleh galangan-galangan produsen kapal perang di negara-negara maju. Untuk menghemat biaya operasional apabila menggunakan kapal kombatan dengan sistem senjata yang modern dan canggih guna menghadapi ancaman asimetris, galangan kapal itu mengajukan konsep OPV dengan persenjataan yang terbatas namun tonasenya antara 1.700-3.500 ton. Kapal jenis ini mampu beroperasi di ZEE, akan tetapi persenjataannya cuma meriam kaliber 76 mm dan senapan mesin kaliber 12.7 mm serta radar pengamatan dan dilengkapi dengan hanggar helikopter. Misalnya OPV kelas Holland yang dibuat oleh galangan kapal produsen korvet kelas Sigma atau OPV kelas Otago keluaran BAe System Australia.
Terdapat kecenderungan bahwa beberapa Angkatan Laut di dunia mulai mengadopsi kapal OPV ini. Hal itu terjadi karena mereka berkepentingan mengamankan ZEE masing-masing dari ancaman asimetris. Kecenderungan demikian mengedepan di kawasan Amerika Latin dan sekitarnya, sementara di kawasan Asia Pasifik kurang begitu bergairah sejauh ini.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Memperhatikan kondisi kekuatan tempur Angkatan Laut saat ini, menurut hemat saya Indonesia belum butuh OPV yang demikian. Sebab kapal dengan tonase di atas 1.700 ton bagi Indonesia lebih patut dipersenjatai dengan rudal dan torpedo, selain meriam tentunya. Kebutuhan kapal kombatan Indonesia masih besar, terlebih ketika sebagian kapal kombatan sudah selayaknya dihapus dari susunan tempur.
Seperti telah ditulis sebelumnya, saat ini Angkatan Laut harus pandai-pandai menyeimbangkan antara tugas menjaga good order di laut dengan peran militer untuk siap berperang ketika dibutuhkan. Tugas-tugas yang terkait good order di laut kini lebih mendominasi banyak Angkatan Laut di dunia, namun peran militer untuk berperang tidak dapat dikesampingkan begitu saja, sebab konflik bersenjata dapat muncul kapan saja dan di mana saja. Antara tuntutan dua arus yang berbeda itu, mau tidak mau kapal perang Angkatan Laut harus fleksibel dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga tidak jarang kapal perang dengan sistem senjata yang modern dan canggih harus melaksanakan operasi-operasi yang terkait dengan ancaman asimetris, sehingga terkesan tidak berimbang antara sistem senjata yang disandang dengan operasi yang dilakukan.
Dinamika demikian justru ditangkap dengan jeli oleh galangan-galangan produsen kapal perang di negara-negara maju. Untuk menghemat biaya operasional apabila menggunakan kapal kombatan dengan sistem senjata yang modern dan canggih guna menghadapi ancaman asimetris, galangan kapal itu mengajukan konsep OPV dengan persenjataan yang terbatas namun tonasenya antara 1.700-3.500 ton. Kapal jenis ini mampu beroperasi di ZEE, akan tetapi persenjataannya cuma meriam kaliber 76 mm dan senapan mesin kaliber 12.7 mm serta radar pengamatan dan dilengkapi dengan hanggar helikopter. Misalnya OPV kelas Holland yang dibuat oleh galangan kapal produsen korvet kelas Sigma atau OPV kelas Otago keluaran BAe System Australia.
Terdapat kecenderungan bahwa beberapa Angkatan Laut di dunia mulai mengadopsi kapal OPV ini. Hal itu terjadi karena mereka berkepentingan mengamankan ZEE masing-masing dari ancaman asimetris. Kecenderungan demikian mengedepan di kawasan Amerika Latin dan sekitarnya, sementara di kawasan Asia Pasifik kurang begitu bergairah sejauh ini.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Memperhatikan kondisi kekuatan tempur Angkatan Laut saat ini, menurut hemat saya Indonesia belum butuh OPV yang demikian. Sebab kapal dengan tonase di atas 1.700 ton bagi Indonesia lebih patut dipersenjatai dengan rudal dan torpedo, selain meriam tentunya. Kebutuhan kapal kombatan Indonesia masih besar, terlebih ketika sebagian kapal kombatan sudah selayaknya dihapus dari susunan tempur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar