03 November 2008

Littoral Warfare dan Naval Gunfire Support (Bag-3)

All hands,
Salah satu program pembangunan kekuatan yang tengah berjalan di AL kita adalah pengadaan empat korvet kelas Sigma dari Belanda. Senjata korvet ini antara lain meriam Otomelara 76 mm/62 Super Rapid Gun. Meriam serupa juga terpasang pada fregat kelas Van Speijk yang telah memperkuat AL kita pada tahun 1986, meskipun serinya berbeda yaitu Otomelara 76 mm/62 Compact.
Sebagai informasi, penggunaan meriam Otomelara 76 mm/62 mendunia sejak 1980-an ketika U.S. Navy mengadopsinya pada Fregat kelas Oliver Hazard Perry. Di kapal perang yang juga digunakan oleh Royal Australian Navy ini, meriam Otomelara 76 mm/62 Mk 75 berada pada bagian tengah belakang kapal di atas bangunan kompartemen kapal. Letak meriam ini di kelas Oliver Hazard Perry memang unik.
Meriam Otomelara 76 mm/62 merupakan meriam serbaguna, bisa digunakan untuk menghancurkan sasaran permukaan maupun sasaran udara. Meriam ini juga dipandang cukup ampuh untuk memberikan naval gunfire support.
Ketika korvet kelas Sigma ketiga dan keempat menjelang dibangun di Royal Shelde pada 2006, sempat timbul keinginan dari AL kita agar meriamnya diganti dengan kaliber 100 mm. Keinginan itu sebenarnya tidak lepas dari kepentingan naval gunfire support, sebab kaliber 100 mm ke atas dipandang lebih ampuh. Dalam dunia persenjataan Angkatan Laut, meriam di atas kaliber 76 mm memang bukan lagi meriam serbaguna dan lebih dititikberatkan untuk menghancurkan sasaran permukaan. Jadi sangat cocok untuk naval gunfire support.
Di dalam aset AL kita, korvet kelas Fatahillah menggunakan meriam Bofors kaliber 120 mm/46. Eks fregat kelas Tribal senjatanya juga di atas 100 mm, yaitu Vickers 4.5 in (114 mm). Artinya, dulu negara-negara Eropa (Barat) nggak keberatan dengan penjualan meriam kaliber besar kepada Indonesia.
Karena masalah politik, Eropa tidak mengijinkan penjualan meriam 100 mm kepada Indonesia, sehingga Sigma ketiga dan keempat batal dipersenjatai dengan meriam itu. Selain itu, apabila Sigma dipersenjatai meriam 100 mm, perlu hitung ulang stabilitas kapal itu, karena kapal itu dirancang untuk dipersenjatai meriam 76 mm.
Sebenarnya perbedaan pendapat mengenai senjata apa saja yang tepat untuk dipasang di satu jenis kapal merupakan hal klasik. Untuk memecahkan masalah itu, salah satu solusinya adalah menetapkan deskripsi tugas kapal kombatan. Meskipun sebuah kapal kombatan dapat secara simultan dilengkapi dengan tiga kemampuan sekaligus yaitu anti kapal atas air, anti kapal selam dan anti pesawat udara, namun harus ada penekanan utama pada satu kemampuan saja. Artinya, mengharapkan sebuah kapal kombatan untuk dapat berperan maksimal pada ketiga fungsi sekaligus adalah kurang tepat.
Masalah meriam 100 mm kembali mencuat pada LPD ketiga dan keempat yang dibangun di PT PAL. Dapat dipastikan bahwa sumber meriamnya bukan dari negara-negara Eropa, namun kemungkinan besar Rusia. Sebab Eropa sudah pasti nggak mau lepas meriam 100 mm ke Indonesia.
Untuk Indonesia, kemampuan naval gunfire support masih harus mengandalkan pada meriam kapal dan belum sampai pada rudal. Karena selain susah memperoleh rudal jelajah untuk hantam sasaran di darat di pasar internasional (kecuali ke Rusia), kebutuhan rudal permukaan ke permukaan (anti kapal) juga belum sepenuhnya terpenuhi. Sehingga prioritas utama tetap kepada rudal permukaan ke permukaan itu.
Dengan kondisi sekarang dan beberapa tahun ke depan, kemampuan naval gunfire support AL kita memang harus bertumpu pada senjata yang ada. Apabila Indonesia bisa memperoleh akses politik dan pasar terhadap meriam kaliber di atas 76 mm, kesempatan itu nggak boleh dilewatkan. Sebab bagaimana pun, mempunyai kapal perang dengan meriam di atas kaliber 76 mm merupakan suatu daya penggetar tersendiri.

3 komentar:

kabei mengatakan...

mantab...........

Anonim mengatakan...

" Karena masalah politik, Eropa tidak mengijinkan penjualan meriam 100 mm kepada Indonesia, sehingga Sigma ketiga dan keempat batal dipersenjatai dengan meriam itu. "

Bukannya ke-empat2 Sigma kita bermeriam kaliber 76mm? Apa 365 dan 366 kaliber 100mm ya? Mohon pencerahannya, bung. trims.

Blognya bagus, artikelnya detail sekali. Mestinya tulisan2 bung bisa di publish buat majalah gitu. fight on deh!

Anonim mengatakan...

Dulu sempat minta agar 366 dan 367 pakai meriam 100 mm.Kalau 365 dan 366 menggunakan 76 mm Otomelara Super Rapid Gun.