19 Oktober 2010

Aspirasi Kawasan Tercermin Dalam Strategi Keamanan

All hands,
Setiap negara yang mempunyai aspirasi global dan atau kawasan pasti akan mencerminkan aspirasi itu dalam strategi keamanan nasionalnya, begitu pula dalam strategi pertahanan, strategi militer dan strategi maritim atau strategi Angkatan Laut. Sebagai perbandingan silakan periksa dokumen-dokumen serupa milik Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang dan Singapura. Negara-negara itu menerjemahkan aspirasinya untuk menjadi pemimpin dan pemain global dan atau kawasan ke dalam strategi keamanan nasional dan turunannya, termasuk strategi maritim atau strategi Angkatan Laut. Kalau mempelajari Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat 2010 yang ditandatangi oleh Presiden Barak Obama, aspirasinya sangat jelas tergambarkan dalam satu kalimat singkat yakni "And in a young century whose trajectory is uncertain, America is ready to lead once more".
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sangat disesalkan bahwa aspirasi untuk menjadi pemain kawasan yang telah diperjuangkan sejak era 1950-an dan terus berlanjut ke masa-masa berikutnya, kini cenderung tidak jelas arahnya. Tidak jelas apakah Indonesia masih ingin menjadi pemain kawasan Asia Tenggara ataukah lebih suka sibuk dengan urusan dalam negeri yang "begitu-begitu saja". Di masa lalu, aspirasi untuk menjadi pemain kawasan diterjemahkan pula dalam pembangunan kekuatan pertahanan.
Memang di masa lalu (bahkan hingga sekarang), Indonesia tidak mempunyai dokumen strategi keamanan nasional dan turunannya. Bahkan sekarang dokumen yang dipunyai baru sebatas strategi pertahanan, sedangkan strategi keamanan nasional dan strategi lainnya masih vakum. Walaupun di era lalu negeri ini tidak mempunyai dokumen strategi pertahanan, akan tetapi aspirasi menjadi pemain kawasan diwujudkan pula dalam pembangunan kekuatan pertahanan. Hasilnya, kekuatan pertahanan Indonesia ---termasuk Angkatan Laut--- sangat diperhitungkan di kawasan. Dalam istilah masa kini, saat itu Indonesia mengkombinasikan penggunaan hard power dengan soft power.
Lihat saja KTT ASEAN 1988 di Manila yang penentuan akan dilaksanakan atau tidak tergantung pada pemimpin Indonesia apakah mau hadir di tengah situasi politik keamanan Filipina yang sedang mengalami musim semi kudeta. Ketika pemimpin Indonesia menyatakan akan hadir, pemimpin negara-negara ASEAN lainnya pun mengikuti apa kata Jakarta. Sebagai langkah kontinjensi apabila terjadi kekacauan keamanan saat KTT digelar, Indonesia melaksanakan sejumlah langkah kontinjensi militer. Di antaranya penyebaran beberapa kapal perang yang berlabuh di perairan sekitar Manila, di samping rencana operasi pengeboman oleh kekuatan udara Indonesia andaikata keselamatan pemimpin Indonesia terancam.
Apa pelajaran dari kasus tersebut? Satu di antara pelajaran yang harus diambil adalah harus adanya keseimbangan antara soft power dengan hard power apabila suatu bangsa memiliki aspirasi untuk menjadi pemain global dan atau kawasan. Artinya, mustahil Indonesia akan kembali menjadi pemain kawasan apabila aspirasi itu tidak diterjemahkan dalam strategi pertahanan, strategi maritim dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar: