29 Oktober 2010

Menimbang Ambisi Pembuatan Kapal Selam

All hands,
Di negeri ini nampaknya ada pihak-pihak tertentu yang berambisi agar dalam tempo sesingkat-singkatnya Indonesia bisa memproduksi kapal selam sendiri. Ketika akhir dari cerita proyek PKR masih menjadi tanda tanya besar, ternyata sudah terjadi loncatan kuantum untuk membangun kapal selam di galangan kapal dalam negeri. Pertanyaannya, semudah itukah mewujudkan loncatan kuantum tersebut?
Untuk bisa membuat kapal selam sendiri, ada beberapa persyaratan yang harus dipunyai. Pertama, modal politik. Dengan siapa Indonesia akan bekerjasama untuk membuat kapal selam? Negeri ini hendaknya tidak terbuai dengan soft power sebagai modal politik untuk membangun wahana tempur itu, sebab soft power sudah mati di Tanjung Berakit.
Ibukota yang mempunyai teknologi kapal selam hanya Washington, Berlin, Paris dan Moskow. Dari empat kota itu, mana yang merupakan sekutu atau koalisi Jakarta? Kalau jawabannya tidak ada, sebaiknya pihak tertentu di Indonesia jangan bermimpi di siang bolong.
Kedua, modal teknologi. Ketika suatu galangan kapal Indonesia melakukan perbaikan tingkat berat terhadap kapal selam U-209/1300 milik Angkatan Laut Indonesia pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, terbongkar bahwa galangan kapal itu tidak menguasai teknologi pengelasan kapal selam. Untuk membangun kapal selam, daftar teknologi yang harus dikuasai oleh suatu galangan perkapalan sangat panjang.
Teknologi yang terkait platform kapal selam saja mempunyai puluhan turunan sub teknologi, belum lagi dengan integrasi sistem, desain kapal selam dan lain sebagainya. Berlin, Moskow dan lainnya mampu membuat kapal selam karena telah belajar dari pengalaman selama hampir seratus tahun. Seoul yang berguru dari Berlin saja sejak 1980-anb sampai saat ini keandalan teknologinya masih dipertanyakan, lalu bagaimana dengan Jakarta yang baru akan berguru?
Ketiga, modal finansial. Membuat kapal selam memerlukan dukungan dana yang sangat besar dari pemerintah. Yang menjadi masalah adalah di Indonesia seringkali tidak ada satu sikap antara pengguna anggaran dengan Lapangan Banteng sebagai penguasa anggaran. Anggaran yang dibutuhkan untuk membangun kapal selam antara lain biaya lisensi (kalau ada pabrikan yang mau bermurah hati memberikan lisensi kepada Jakarta), biaya pembangunan infrastruktur di galangan kapal, biaya tenaga ahli (yang mayoritas berkulit putih), biaya bahan baku berkualitas khusus (misalnya baja), biaya pengadaan subsistem kapal selam, biaya integrasi, biaya ujicoba dan lain sebagainya.
Biaya-biaya tersebut paling tidak dibutuhkan selama empat tahun secara berkelanjutan alias anggaran tahun jamak. Pertanyaannya, sudahkah pihak-pihak tertentu di Indonesia yang mempunyai mimpi membangun kapal selam menghitung semua biaya itu? Dana yang dikeluarkan selama pembangunan kapal selam tentu bukan uang yang hilang begitu saja, tetapi harus ada "kembaliannya". "Kembaliannya" harus dihitung dengan mengkalkulasi skala keekonomian memproduksi kapal selam itu di galangan kapal nasional. Bisa jadi anggaran yang dikeluarkan baru akan impas apabila kapal selam yang diproduksi 15 buah, sementara keuntungan baru diraih kalau 25 kapal selam bisa diproduksi (dan laku dijual).
Dari uraian singkat ini tergambar bahwa modal yang dibutuhkan untuk mampu membangun kapal selam sendiri tidak segampang bermimpi di siang bolong.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

gampang kalau mau, wong sudah ada dan dirintis bahkan dirancang semenjak 10an tahun yang lalu..........kapal selam bisa dimulai dari yang kecil...........belajar kek ke iran.....................dalam 3 tahun bisa membangun 6 kapal selam kecil.............

Anonim mengatakan...

Dear Captain,

I see a slight of pessimistic in your post.
1. We don't have time 100 years, that's why there is a word "acceleration" in the dictionary.
2. To analysis technology development, we cannot merely use BEP and ROI approaches, but Cost and Benefits both subjective and objective, Value Changes, Multiplier Effect etc.
I think we remember we use the same arguments for N250 and N2130, if you recall.
PT DI shall have been in par or at least exits in aerospace industry.
3. A giant leap will always starts with a small step.

I think we both want Indonesia become a nation of proud.

Private Out,

Allhands mengatakan...

If u know about the political and technological aspect of submarine proliferation, you cant compare it to civilian aircraft like N-250. It's not apple to apple. Military used technology affairs handled with tougher way by advanced countries than civilian used technology affairs. I had a personnel experience about this.