05 Mei 2008

From Cruiser to Patrol Craft???

All hands,
Mengikuti perkembangan pembangunan kekuatan AL di kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, saya termasuk yang khawatir dengan kecenderungan yang dialami Indonesia. Khawatir karena dari segi fisik, ada kemunduran yang sepertinya akan terus terjadi setidaknya hingga dua puluh tahun ke depan. Ketika negara-negara lain di kawasan ini capital ship-nya kian meningkat, kita malah kian menurun.
Mari kita bandingkan antara Jane’s Fighting Ship di era 1960-an dengan Jane’s Fighting Ship 2007. Dari sana bisa dilihat, tahun 1960-an mayoritas AL di kawasan Asia Tenggara capital ship-nya hanya kapal-kapal PC. Hanya 1-2 AL kawasan yang capital ship-nya fregat ke atas. Indonesia saat itu mempunyai AL yang terkuat di kawasan, bahkan untuk tingkat Asia Pasifik sekalipun. Capital ship kita cruiser RI Irian-201. Semua itu karena adanya political will dari pemerintah saat itu, walaupun mayoritas rakyat kita waktu itu masih miskin, pendapatan perkapita sangat rendah dan buta huruf.
Apa yang terjadi sekarang? Ketika tingkat kemiskinan, pendapatan perkapita di atas US$ 1.000 dan melek huruf bangsa Indonesia jauh lebih baik dibanding era 1960-an, AL kita malah mengalami kemunduran dari 1960-an. Tahun 1980-an pemerintah masih sanggup biayai AL untuk pengadaan fregat (walaupun fregat bekas). 20 tahun setelah itu, pemerintah hanya sanggup biayai pengadaan korvet. Apakah 20 tahun ke depan pemerintah kita hanya sanggup biayai pengadaan PC???
Menurut pandangan saya, pengadaan kapal jenis fregat merupakan kebutuhan AL. Karena sebagian perairan kita sea state-nya di atas 3 yang tidak menguntungkan bila pakai kapal yang lebih kecil. Kalau dipaksakan sih bisa, tapi fokus komandan kapal dan awaknya bukan lagi pada operasi, tapi pada keselamatan awak dan material.
Pertimbangan lainnya, AL punya fungsi diplomasi yang akan terus melekat sampai kapan pun. Untuk melaksanakan itu, masak kita pake kapal PC??? Mau ditaruh di mana muka republik ini!!! Republik ini luas wilayahnya tidak sekecil Singapura, tapi terbentang dari timur ke barat setara jarak pantai timur ke pantai barat Amerika Serikat. Singapura saja yang luasnya cuma seukuran Jakarta capital ship-nya fregat Lafayette, terus apakah pantas republik ini AL-nya cuma diperkuat oleh PC nantinya sebagai capital ship???
Kita mesti mencamkan bahwa stabilitas kawasan Asia Tenggara ditentukan oleh stabilitas Indonesia, karena dua pertiga kawasan ini adalah yurisdiksi kita. Apakah mungkin menjaga stabilitas itu pakai PC nantinya, sementara yang dihadapi mulai dari fregat sampai kapal induk. Harap diingat, pada tahun 1992 ketika digelar KTT ASEAN di Manila, kita deploy KRI kelas FTH ke Teluk Manila untuk amankan pimpinan nasional kita yang ikut KTT. Waktu itu di Filipina kondisi politiknya sedang tidak stabil karena sedang wabah kudeta. Sangat disayangkan, catatan emas itu sepertinya kurang tercatat dalam sejarah republik ini.
Deployment KRI kelas FTH selain merupakan fungsi diplomasi, juga menunjukkan siapa Indonesia di kawasan. Apa yang kita lakukan saat itu tidak beda dengan apa yang dilaksanakan Amerika Serikat sepanjang tahun sejak akhir Perang Dunia Kedua hingga detik ini, yaitu diplomasi AL yang berisikan pesan kepentingan nasionalnya.
Sebagian pihak menganggap bahwa pengadaan kapal fregat ke atas mahal biayanya. Pemikiran demikian boleh-boleh saja, tapi mana yang lebih mahal dengan martabat dan harga diri bangsa??? Anggaran itu bisa diciptakan kok, soal mahal atau tidak itu relatif. Kita hendaknya jangan terjebak pada anggaran!!! Kalau menurut saya, mengapa terjadi kemunduran dalam hal jenis kapal perang yang perkuat AL kita, itu karena pemerintah kurang punya political will untuk bangun AL. Itu masalahnya!!! Bukan soal masih banyak penduduk miskin, pendapatan perkapita rendah, anggaran terbatas dan lain-lain. Ingat, APBN kita tahun 2008 saja Rp.800 trilyun. Waktu dulu Bung Karno memodernisasi AL kita di awal 1960-an, dugaan saya APBN masih pada kisaran puluhan juta rupiah, paling tinggi ratusan juta rupiah. Maaf, saya belum dapat data lengkap APBN kita di era itu.
Memang betul bahwa modernisasi AL saat itu terkait dengan kondisi politik untuk satukan wilayah Nusantara di bawah Merah Putih. Artinya, ada imminent threat, ada kebutuhan mendesak. Pertanyaannya, apakah kondisi sekarang tidak masuk kategori kebutuhan mendesak??? Keutuhan wilayah kita terancam (Ambalat, masalah perbatasan dengan Singapura), kerugian negara dari pencurian kekayaan laut sekitar US$ 25-30 milyar, belum lagi kegiatan lain di laut yang dilakukan oleh pihak asing yang pada dasarnya dapat dikategorikan melecahkan kita tidak bisa dikategorikan sebagai sebagai kebutuhan mendesak???
Keliru kita berpikir bahwa memperkuat militer, termasuk AL, kalau sudah ada ancaman nyata. Memangnya kita beli kapal perang seperti belanja di pasar atau supermarket, barangnya sudah tersedia, tinggal kita bayar dan ambil bawa pulang. Itu baru dari sisi ketersediaan barang. Belum lagi ketika masuk aspek politik, siapa kawan yang jual kapal perangnya ke kita??? Bung Karno hebat karena dia rangkul Uni Soviet, sehingga AL kita diperhitungkan di kawasan. Pak Harto, beliau bisa rangkul Amerika Serikat, sehingga AL kita tetap diperhitungkan. Sekarang kita mau rangkul siapa??? Saya khawatir, karena kita tidak bisa rangkul siapa-siapa, kekhawatiran bahwa 20 tahun ke depan pemerintah cuma bisa biayai pengadaan PC buat AL kita akan menjadi kenyataan!!!

Tidak ada komentar: