06 Mei 2008

No Guts No Glory

All hands,
Peran politik keamanan India di kawasan Samudera India semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Manuver terakhir negeri itu adalah menggelar Indian Ocean Naval Symposium pada14-18 Februari 2008 sebagai sarana interaksi antar AL negara-negara di sekitar Samudera India untuk bertukar pandangan mengenai kerjasama keamanan maritim kawasan. Buat kita, susah untuk dibantah bahwa IONS merupakan suatu forum yang mengambil model WPNS yang diikuti AL negara-negara di belahan Samudera Pasifik. Melalui IONS 2008, negeri itu ingin menegaskan pesan politiknya bahwa Indian Ocean is belong to India.
Sejak negeri itu merdeka pada 1947, sudah ada aspirasi untuk mengendalikan Samudera India mengingat posisinya yang strategis di antara Asia Barat dengan Asia Tenggara dan Asia Timur. Tapi baru tahun 1990-an India mulai mengimplementasikan aspirasi itu seiring pembangunan kekuatan lautnya menuju status blue water navy seiring dengan kemajuan ekonomi. Alasan utama yang mendasari aspirasi itu adalah demi stabilitas keamanan kawasan perairan dimaksud, karena stabilitas tersebut akan mempengaruhi kondisi keamanan nasional India.
India ingin menciptakan perimeter keamanan yang jauh dari wilayahnya, terbentang mulai dari Selat Malaka hingga ke Selat Hormuz dan dari pantai timur Afrika sampai ke pantai barat Australia. Indian Maritime Doctrine yang diterbitkan oleh Dephan India menyatakan, “the Indian maritime vision for the first quarter of the 21st century must look at the arc from the Persian Gulf to the Straits of Malacca as a legitimate area of interest”.
AL India aktif melakukan kegiatan confidence building measures dengan AL lain di kawasan. Bentuknya bisa dialog, latihan bersama dan muhibah. Misalnya MILAN dan MALABAR. Malah untuk MALABAR, negara partisipan sudah meningkat dengan melibatkan sejumlah negara sekutu Amerika Serikat semisal Jepang dan Australia. Aslinya, MALABAR merupakan bilateral AL India dengan U.S. Navy. Dalam MALABAR 07-1 (6-11 April 2007), tempat latihannya malah di Laut Filipina lepas pantai Okinawa. Kalau MALABAR 07-2 (4-9 September 2007), latihannya di Teluk Benggala yang libatkan tiga negara lain yaitu Australia, Jepang dan Singapura. Yang menarik dari MALABAR 07-2 adalah latihan ini “memaksa” India mengadopsi prosedur NATO. Seperti diketahui, AL India selama ini menggunakan TTP gado-gado antara Inggris dan Rusia.
Kedekatan hubungan militer India-Amerika Serikat merupakan bagian dari engagement pemerintahan George Bush untuk merangkul India hadapi Cina. Washington tidak segan-segan memberikan teknologi nuklir kepada New Delhi yang menolak menjadi pihak dalam NPT, seperti dikemukakan Bush saat bertamu ke India pada Juli 2005. Tindakan itu sebenarnya bertentangan dengan peraturan nuklir internasional, namun kepentingan nasional Amerika Serikat dapat mengalahkan segalanya. Hal itu juga menunjukkan standar ganda Washington dalam isu proliferasi nuklir.
Secara sadar India menempatkan diri dalam skenario yang dirancang oleh Amerika Serikat untuk membendung Cina. Secara kebetulan, ada pertemuan kepentingan nasional antara kedua negara negara, yang mana Amerika Serikat berniat membendung Cina agar tak menjadi peer competitor, sedangkan di sisi lain India ingin menjadi aktor kawasan. Untuk itu, India mempunyai kebijakan Look East, yang berwujud jalinan kerjasama di berbagai bidang dengan negara-negara Asia Tenggara, termasuk di bidang pertahanan dan keamanan maritim.
Kebijakan Look East mempunyai kaitan tak langsung dengan isu keamanan maritim, karena negeri itu telah memproklamasikan diri sebagai tunnel states Selat Malaka. Maksudnya pelayaran internasional dari arah Asia Barat menuju Selat Malaka harus melalui Samudera India terlebih dahulu. Bukan sesuatu yang aneh bila pada 2004 India sepakat dengan Amerika Serikat untuk mengawal kapal niaga yang melewati Selat Malaka. Artinya, India berkepentingan terhadap keamanan Selat Malaka, meskipun tidak ada ancaman langsung dari perairan tersebut terhadap kepentingan nasionalnya.
Pertanyaannya, bagaimana sebaiknya Indonesia bersikap? Cara yang paling baik adalah to engage India melalui kerjasama keamanan maritim, khususnya antar AL. Cakupan kerjasama yang kini eksis seperti Patkor Indindo mesti diluaskan lagi, misalnya latihan bilateral AL. Sebenarnya banyak hal yang bisa kita pelajari dari India, karena negeri itu cukup sukses membangun kekuatan AL-nya. Meskipun sebagian kapal perang India usianya tidak muda lagi, tetapi seamanship mereka patut kita tiru.
Belum lagi kuatnya aspirasi nasional untuk membangun kemandirian, termasuk dalam pengadaan kapal perang. Sebagian pengadaan kapal perang mereka dilakukan dengan proses lisensi. Hal itu tentu tidak mudah, karena membutuhkan kesiapan industri nasional juga. Misal pabrik baja, industri elektronika pertahanan, industri propulsi/mesin pendorong dan lain sebagainya. Itu yang kurang ada pada bangsa kita, sehingga aspirasi menjayakan AL hanya aspirasi sebagian kecil anak bangsa.
Kalau hari ini mereka punya aspirasi jadi AL kawasan, itu wajar. Sebab dari jauh hari mereka sudah mempersiapkan diri dari segala aspek. Baik SDM personel AL, SDM nasional, industri pertahanan dan juga kebijakan pemerintah. Di samping mendorong pembangunan AL-nya, pemerintah India juga pandai untuk mendayung di antara karang. Ketika situasi dunia berubah, India merapat ke Amerika Serikat tanpa mengorbankan hubungannya dengan Rusia yang sudah berjalan hampir 60 tahun. Moskow tetap memasok sebagian besar alutsista bagi India, walaupun New Delhi merapat juga ke Washington.
Bagaimana dengan Indonesia? Keinginan, aspirasi untuk kembali menjadi primus inter pares di kawasan Asia Tenggara masih ada di sebagian kalangan di negeri ini. Tapi sayangnya itu belum menjadi arus nasional...tepatnya sikap bangsa. Untuk menjadi primus inter pares, sejarah mengajarkan kita untuk mempunyai AL yang diperhitungkan di kawasan. Meskipun pada masa Orde Baru kekuatan AL masih kalah bila dibandingkan dengan di masa Bung Karno, tetapi saat itu kita tetap dihitung sebagai AL N0.1 di kawasan.
Kalau di masa Bung Karno, September 1965 kita bisa deploy Gugus Tugas ke Teluk Benggala untuk dukung Pakistan dalam Perang India-Pakistan, di jaman Soeharto kita masih bisa deploy KRI kelas FTH untuk amankan KTT ASEAN 1992 di Manila. Sekarang??? Pesannya adalah ada missing link antara kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri. Selain perlunya mendorong implementasi kebijakan pertahanan yang berbasis pada aspek maritim.


Tidak ada komentar: