02 Mei 2008

Teknologi, Senjata dan Politik Luar Negeri

All hands,
Dalam pembinaan dan pembangunan kekuatan selama ini, kita sepertinya berada di lingkaran setan antara kebutuhan AL, politik luar negeri pemerintah dan konstelasi politik keamanan internasional. Sepanjang pengetahuan saya, ketiga hal tersebut mulai tidak sinkron sejak awal 1990-an, tepatnya pasca insiden Santa Cruz, Dili 12 November 1991. Seperti kita ketahui, setelah pasca 1965 Indonesia berpaling dari Blok Timur ke Blok Barat, pengadaan alutsista AL relatif “mudah”, dalam arti syaratnya tidak berat. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa kita dapat korvet kelas Fatahillah, selain kapal selam kelas U-209 dan fregat Van Speijk.
Situasi mulai berubah awal 1990-an, ketika pemerintah kita saat itu kurang bisa “menyesuaikan diri” dengan tatanan baru dunia pasca Perang Dingin. Amerika Serikat yang baru saja memenangkan Perang Dingin dipimpin oleh generasi baby boomer dari Partai Demokrat yang mengusung nilai-nilai demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup. Berbeda di masa sebelumnya yang mana negeri itu kebanyakan diperintah oleh Presiden dari Partai Republik (kecuali era Jimmy Carter) yang tidak terlalu fokus kepada isu-isu tersebut. Sudah menjadi ciri Partai Republik bahwa mereka lebih fokus pada isu keamanan nasional Amerika Serikat, sehingga mereka akan berupaya mencapainya dengan cara apapun. Dan itu pun sampai sekarang bisa kita saksikan dan rasakan bersama, semisal petualangan militer uwak Sam di Afghanistan dan Irak yang melanggar semua hukum dan norma internasional.
Setelah Indonesia diembargo sejak 1991 sampai November 2005, uwak Sam kembali berupaya merangkul kita ke dalam kubunya. Tentu ada kuat mengapa sekarang dia berpaling kepada kita lagi, yaitu kepentingan untuk to contain Cina. Demi kepentingan itu, Washington mengangkat sebagian embargo senjata yang dijatuhkan. Namun untuk kategori lethal weapons, sepertinya negeri itu masih setengah hati.
Apa yang dia dapatkan dari kebijakan itu? Indonesia, seperti terlihat saat kunjungan Menteri Pertahanan Robert M. Gates 22 Februari 2008 lalu, masih bersikap hati-hati atas tawaran Amerika Serikat untuk menjual sejumlah alutsista yang tergolong lethal weapons. Kehati-hatian itu salah satu pendorongnya adalah trauma terhadap embargo di masa lalu, karena sampai kini Gedung Putih tidak bisa menjamin bahwa di masa yang akan datang kita tak akan diembargo lagi. Seperti kita sama-sama tahu, konstelasi politik di Washington juga dipengaruhi oleh sikap para penghuni The Capitol Hill alias Kongres.
Mari kita bertanya, mengapa Gedung Putih tidak bisa memberikan jaminan? Sepanjang pengetahuan saya, dalam hubungan dengan negara asing, Amerika Serikat membagi negara-negara itu dalam kategori allies, friends, partners dan adversaries. Terhadap negara yang digolongkan sebagai allies, Washington akan memberikan hampir semua teknologi senjata yang dia punyai melalui program ekspor. Contohnya adalah teknologi Aegis yang diberikan kepada Australia, Norwegia, Spanyol, Jepang dan Korea Selatan. Namun tidak semua teknologi dapat diakses, karena ada teknologi-teknologi yang top secret yang tidak bisa diberikan walaupun kepada allies. Misal teknologi stealth.
Singkatnya, ada perbedaan perlakuan terhadap allies, friends dan partners. Lalu pertanyaannya, di mana sih posisi kita di mata Amerika Serikat? Kalau melihat perlakuan negeri itu terhadap kita dan pernyataan sejumlah pejabat teras Amerika Serikat seperti Presiden George Bush, Menteri Luar Negeri Condolezza Rice dan Menteri Pertahanan Robert M. Gates (dan sebelumnya Donald Rumsfeld) saat mereka berkunjung ke Indonesia, kita nampaknya ditempatkan sebagai partner.
Kalau begitu, bukan suatu hal yang aneh bila Washington ”agak pelit” kepada kita dalam soal alutsista. Bandingkan dengan Singapura yang dengan begitu mudah dapat F-15 SG, AH-64 Longbow Apache maupun F-16C. Juga tak ada keberatan dari Washington ketika negeri kecil yang licik dan rakus itu membeli fregat kelas Lafayette dari Prancis. Bandingkan dengan keberatan Washington ketika kita ingin melengkapi korvet Sigma dengan rudal Exocet MM-40, dengan alasan di dalam rudal itu ada komponen buatan Amerika Serikat.
Belum lagi kalau kita tinjau rimba senjata internasional. Di rimba itu ada bermacam peraturan yang atur peredaran senjata konvensional kaliber besar di dunia. Ada tujuh jenis senjata yang diatur peredarannya oleh negara-negara maju bersama PBB, termasuk di dalamnya kapal perang. Nama programnya adalah UNROCA (U.N. Register on Conventional Arms). Sesuai ketentuan UNROCA, negara eksportir dan importir senjata wajib laporkan transaksi kepada PBB, biasanya dalam bentuk laporan tahunan.
Selain UNROCA, ada pula MTCR (missile transfer control regime) yang beranggotakan 34 negara. Lewat MTCR diatur penjualan rudal di dunia, khususnya yang punya daya jangkau di atas 300 km. Sebagai informasi, rudal Yakhont itu daya jangkaunya sudah hampir mencapai pagu MTCR.
Menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan bagi pembinaan dan pembangunan kekuatan itu, kita berpaling ke Rusia. Selain itu, ada keinginan kuat dari pemerintah untuk memberdayakan industri pertahanan dalam negeri. Semua itu didasari oleh kebutuhan kita.
Terkait dengan industri pertahanan dalam negeri, masalahnya adalah seberapa siap mereka untuk mendukung kebutuhan AL khususnya. Okelah PT. PAL bisa bikin kapal, tapi dia kan cuma siapkan platform-nya, sementara senjata dan sistem elektronikanya tetap harus mengandalkan pasokan dari Eropa. Belum lagi soal interface antara senjata dan sistem elektronika, yang masih mengandalkan pihak pabrikan Eropa. Ketika kita menyentuh soal ekspor senjata dan sistemnya dari Eropa, lampu kuning mulai menyala. Artinya, kesempatan kita memperoleh senjata dan teknologi yang kita inginkan 50-50. Kalau Washington kasih lampu hijau, kita dapat. Kalau kasih lampu merah, Eropa menurut.
Secara pribadi, saya masih ragu akan kemampuan industri pertahanan dalam negeri untuk mendukung alutsista AL, khususnya kapal perang sampai 15 tahun ke depan. Masalahnya bukan sekedar teknologi, tapi juga pendanaan. Seperti kita sama-sama tahu, saat ini APBN harus dibagi-bagi ke lebih banyak instansi dibanding 15 tahun lalu. Perusahaan seperti PT. PAL sulit untuk produksi alutsista tanpa uang muka. Dan yang menentukan turun tidaknya uang muka kan bukan di Cilangkap atau Merdeka Barat, tapi di Lapangan Banteng. Sementara proposal yang antri minta pendanaan di sana kan juga bertumpuk.
Ada pula pemikiran untuk alih teknologi. Alih teknologi dalam prakteknya nyaris mustahil untuk terjadi, kalau tidak mau dikatakan tidak mungkin. Karena itu menyangkut keuntungan bisnis sekaligus pertimbangan politik. Negara-negara maju tak akan pernah memberikan teknologi senjata mereka kepada negara-negara berkembang. Alasannya sederhana, jangan-jangan teknologi itu digunakan buat pukul balik mereka nantinya. Berikut, pasar senjata mereka bisa tergerus bila ada alih teknologi. Teknologi harus direbut, termasuk dengan mencuri sekalipun. Jangan pernah harapkan mereka akan kasih ke kita.
Jadi, jalan kita untuk mandiri di bidang alutsista masih panjang, sedangkan kebutuhan di lapangan terus mendesak. Sangat sulit untuk tidak menggunakan alutsista lama dalam kondisi seperti ini. Karena yang dipertaruhkan adalah martabat dan wibawa bangsa ini, termasuk juga kedaulatan. Jangankan negara adidaya, negeri-negeri kecil di sekitar kita sekarang sudah berani melecehkan kita.
So... what is the solution? The only best choice between the worst is to redefine our foreign policy. More than 60 years ago, our founding father Mohammad Hatta said that our foreign policy should always serve our national interests. That’s why we choose free and active policy in order to respond the international system prevailed at the time being. Today Indonesia lives on this globalized world, a world that different from Hatta’s days. Does our foreign policy still serve our national interests on current context???

Tidak ada komentar: