13 Mei 2008

Transformasi Angkatan Laut

All hands,
Buat sebagian dari kita, transformasi AL (naval transformation) mungkin merupakan hal baru dan juga bahkan istilah baru. Transformasi AL yang kini sudah dilakukan oleh banyak AL di dunia merupakan dividen dari berakhirnya Perang Dingin. Lingkungan strategis yang berubah menuntut AL untuk menyesuaikan diri, termasuk dalam bidang operasi. Terlebih lagi ketika revolution in military affairs (RMA) yang digagas pada awal 1980-an oleh militer Uni Soviet dan diadopsi oleh militer Amerika Serikat, makin mendapat tempat untuk diterapkan pasca Perang Dingin.
Sepanjang pengetahuan saya saya, tidak ada definisi tunggal mengenai apa yang dimaksud transformasi AL. Saya sendiri memahami transformasi AL sebagai penerapan RMA di dalam organisasi Angkatan Laut, yang berimplikasi pada banyak hal di dalam AL itu sendiri. Sebab RMA mempengaruhi baik doktrin, operasi dan organisasi.
Apa itu RMA? Banyak pihak mendeskripsikan RMA sebagai perubahan discontinuous atau disruptive dalam konsep dan moda peperangan. Dikatakan discontinuous atau disruptive karena karakter dan pelaksanaan perang tidak berjalan sebagaimana seharusnya (evolutif) dengan ditemukannya teknologi baru yang kemudian diaplikasikan pada penciptaan sistem senjata baru yang daya rusak dan daya jangkau lebih besar, lebih jauh dan lebih akurat (revolutif).
RMA telah dimulai sejak abad ke-15, di mana pelaksanaan perang telah delapan kali bertransformasi, enam di antaranya terjadi dalam 200 tahun terakhir. Yaitu revolusi Napoleon; revolusi kereta api, senapan dan telegraf; revolusi kapal perang Dreadnought/kapal selam; peperangan lapis baja/superioritas udara; kekuatan udara AL; dan revolusi nuklir.
Penerapan RMA dalam organisasi pertahanan dan militer mendorong terjadinya transformasi pertahanan. Soal terminologi RMA dan transformasi pertahanan, memang masih menjadi silang sengketa di antara pihak-pihak tentang penggunaan kedua terminologi itu. Ada pihak yang berpandangan bahwa transformasi pertahanan adalah nama lain dari RMA, sementara ada pula pendapat bahwa transformasi pertahanan adalah proses pengimplementasian RMA. Saya sendiri memahami RMA adalah bagian tak terpisahkan dari transformasi pertahanan, di mana transformasi pertahanan tujuan akhirnya adalah menciptakan kekuatan pertahanan dan militer yang mampu mengamankan kepentingan nasional.
Ada lima karakteristik kekuatan pertahanan dan militer yang telah mengalami transformasi, yaitu (i) C4ISR, senjata dan platform yang terkoneksi dalam jaringan, (ii) shared situational awareness, (iii) more accurate and standoff engagement, (iv) ketangkasan, kecepatan, kemampuan pengerahan yang cepat dan fleksibilitas, dan (v) jointness and interoperability.
RMA punya kaitan dengan teknologi informasi, karena adanya teknologi informasi-lah yang memunculkan RMA seperti yang ada saat ini. Sehingga lahirlah salah satu anak dari RMA yaitu network-centric warfare. Penerapan RMA yang berbasis teknologi informasi pada akhirnya akan menyentuh aspek doktrin, operasi dan organisasi pertahanan dan militer.
Begitu pula yang terjadi pada banyak AL di dunia, di mana transformasi pertahanan melalui penerapan RMA pada akhirnya mendorong terjadinya transformasi AL. Transformasi AL yang terjadi mencakup aspek doktrin, operasi dan organisasi.
Transformasi U.S Navy ditandai dengan perubahan doktrin dari Forward… from The Sea menjadi Seapower 21. Komponen utama Seapower 21 adalah sea strike, sea shield dan sea basing yang disatukan oleh network-centric melalui ForceNet, yaitu jaringan komputer terintegrasi yang menghubungkan semua pendirat dan armada AL. Doktrin Seapower 21 memfokuskan operasi pada littoral warfare, karena naval warfare akan (lebih banyak) terjadi di littoral daripada di tengah laut seperti pada masa lalu (ingat perubahan filosofi dari what we can at sea menjadi what we can do from sea to shore/littoral). Doktrin itu kemudian dituangkan ke dalam aspek operasional yaitu Naval Operation Concept.
Transformasi diikuti dengan perubahan organisasi, misalnya pembentukan U.S. Navy Expeditionary Combat Command. Pembentukan komando itu tidak lepas konteks strategis saat ini yang menempatkan kekuatan maritim, khususnya AL, pada peran yang kritis. Sebagai kekuatan militer yang dapat beroperasi mandiri dan dalam jangka waktu lama meskipun jauh dari pangkalan induk dan atau negara induk, kekuatan AL senantiasa menjadi pilihan utama dan pertama bagi banyak negara untuk merespon instabilitas keamanan global dan regional.
Selain Amerika Serikat, Bundesmarine alias AL Jerman adalah contoh lain dari AL yang telah melakukan transformasi menjadi kekuatan ekspedisionari. Transformasi Bundesmarine tidak lepas dari perubahan lingkungan strategis, yang mana pada era Perang Dingin tugas utamanya adalah menghadapi kekuatan Pakta Warsawa di Laut Baltik, kini berubah menjadi kekuatan ekspedisionari untuk mendukung misi NATO. Bundesmarine saat ini menjadi salah satu unsur dalam UNIFIL MTF di Lebanon pasca Perang Hizbullah-Israel pada bulan Juli-Agustus 2006.
Perlu diketahui bahwa transformasi AL di negara-negara itu mempengaruhi sampai pada jenis kapal perang yang dibutuhkan. U.S. Navy misalnya, ciptakan LCS. Bundesmarine buat kapal kelas korvet kelas Braunschweig (yang kemampuannya sekelas fregat, cuma namanya saja korvet).
Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa transformasi AL mempengaruhi pula aspek operasi, di mana naval expeditionary operations kembali ditekuni dan dilaksanakan lebih sering dibandingkan sebelumnya. Pilihan mengapa AL senantiasa menjadi pilihan pertama dalam operasi ekspedisionari tidak lepas dari kemampuan kekuatan maritim untuk melakukan naval presence. Hampir tidak ada contoh di mana dalam merespon perkembangan situasi krisis di suatu kawasan dunia, negara-negara lain mengirimkan kekuatan selain kekuatan maritim ke wilayah krisis. Dengan makin kritisnya peran kekuatan maritim dalam menangani berbagai instabilitas dunia, tidak heran bila saat ini negara-negara maju mencitrakan kekuatan lautnya dengan slogan seapower is a force for good.
Dalam perkembangan strategi maritim di Barat, aliran yang berkembang mengedepankan penggunaan kekuatan laut masa kini untuk mempromosikan keamanan dan kesejahteraan di seluruh dunia. Pemikiran demikian sebenarnya hanya varian dari pemikiran klasik strategi maritim, karena penggunaan kekuatan laut suatu negara pada dasarnya bertujuan untuk mengamankan kepentingan nasional. Hanya saja dalam era kemajuan teknologi komunikasi dan informasi saat ini, tujuan tersebut harus dikemas sebagus, secantik dan sehumanis mungkin guna mengurangi sikap resistensi dari pihak-pihak lain.
Slogan tersebut mempunyai dua sisi, yaitu pada satu sisi tidak dapat diingkari adanya kepentingan politik dan ekonomi negara-negara maju sebagai faktor penggerak di balik operasi ekspedisionari AL. Karena bagaimana pun AL adalah salah satu instrumen kekuatan nasional yang dapat disebar ke mana saja setiap saat tanpa harus khawatir akan timbulnya implikasi diplomatik. Namun di sisi lain, hendaknya dipahami pula bahwa operasi bantuan bencana alam seperti yang dilaksanakan oleh U.S. Navy di Aceh juga termasuk dalam operasi ekspedisionari Angkatan Laut, sehingga dalam batas tertentu slogan seapower is a force for good memang ada benarnya.
Meningkatnya frekuensi operasi ekspedisionari AL membuat beberapa negara melakukan penyesuaian pada strategi maritimnya, khususnya tentang kemampuan operasi. Bila di masa lalu core capabilities AL meliputi naval presence, sea control, sea denial dan power projection, kini ditambah dengan maritime security dan humanitarian assistance and disaster relief. Contohnya adalah Amerika Serikat, yang merancang core capabilities kekuatan maritimnya meliputi forward presence, deterrence, sea control, power projection, maritime security dan humanitarian assistance and disaster relief.
Pertanyaannya, bagaimana dengan di Indonesia? Transformasi pertahanan di negeri tercinta ini sepertinya masih merupakan hal baru dan seringkali dicampur adukkan dengan reformasi pertahanan. Padahal proses dan keluaran keduanya sama sekali berbeda, yang mana cakupan reformasi pertahanan terbatas pada isu demokrasi, sementara transformasi pertahanan cakupannya mulai dari tataran kebijakan pertahanan hingga tingkat taktis dan teknis operasional militer. Transformasi pertahanan tak mempunyai hubungan langsung dengan sistem politik, karena transformasi dapat dilaksanakan di negara-negara yang tidak demokratis, seperti Cina dan Singapura.
Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, transformasi AL dapat dimulai dari aspek sumber daya manusia. Kebijakan pengadaan sejumlah alutsista yang mengusung teknologi lebih maju dan modern dibandingkan alutsista sebelumnya dapat menjadi embrio awal transformasi AL. Pengadaan tersebut secara tidak langsung dapat mendorong AL kita untuk mulai meninjau kembali doktrin, operasi dan organisasi yang telah sebelumnya, karena filosofi alutsista tersebut berbeda dengan alutsista era sebelumnya. Alutsista yang akan mengisi order of battle AL kita ke depan sebagian di antaranya berciri-ciri (i) pengawakan makin sedikit (fewer crew), (ii) otomasi meningkat, (iii) rancang bangunnya untuk era network-centric warfare.
Masuknya alutsista baru, apalagi bila berasal dari negara-negara yang berbeda secara teknologi dan filosofi militer, menuntut kreativitas dari personel AL kita untuk memadukannya pada aspek operasional sehingga terjadi interoperability. Bukan tidak mungkin masuknya alutsista baru menuntut perubahan doktrin, strategi, taktik, teknik dan prosedur, karena semua itu sifatnya dapat berubah. Apabila doktrin, strategi, taktik, teknik dan prosedur terus dipertahankan secara kaku (text-book) tanpa memperhatikan perkembangan teknologi, bukan tidak mungkin hal itu justru akan menjadi blunder di lapangan.
Oleh sebab itu, menurut saya, sumber daya manusia yang inovatif dan mampu mengikuti perkembangan teknologi militer sekaligus memahami aspek operasional AL sangat dibutuhkan. Karena dengan demikian, diharapkan doktrin, strategi, taktik, teknik dan prosedur akan tidak ketinggalan oleh kemajuan teknologi militer yang begitu cepat. Sebagai contoh adalah masuknya unsur helikopter dalam operasi amfibi pada U.S Marines Corps, yang berujung pada lahirnya taktik Ship-to-Objective Maneuver (STOM), sehingga operasi amfibi masa kini tidak harus selalu merebut tumpuan pantai sebelum bermanuver lebih jauh ke daratan.
Saat ini AL di sekitar kita seperti TLDM dan RSN terus melaksanakan transformasi sesuai dengan roadmap mereka? Keluaran dari transformasi itu adalah mereka makin kuat dan makin berani melecehkan kita di laut. So...transformasi AL merupakan sebuah arus jaman yang hendaknya kita ikuti, agar dapat menjadi kekuatan yang mempunyai deterrence dan daya pukul serta diperhitungkan di kawasan Asia Pasifik. Kata kunci transformasi AL adalah kemauan untuk mengubah paradigma dalam memandang jalannya peperangan laut ke depan yang sudah bergeser ke littoral warfare.

Tidak ada komentar: