25 Mei 2008

To See Deeds in Addition to Words

All Hands,
Indonesia adalah salah satu barometer stabilitas keamanan kawasan!!! Itu kata orang lain. Itu penilaian orang lain. Saya setuju 100 persen penilaian itu. Namun sangat disayangkan mayoritas bangsa saya tidak paham soal itu.
Kita selama puluhan tahun hanya bisa mengklaim bahwa kita berada di posisi strategis dunia. Meminjam ungkapan yang kebanyakan hanya dipahami oleh kita yang berada di domain AL, Indonesia mempunyai empat dari sembilan chokepoints dunia. Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Ombai-Selat Wetar.
Kalau empat chokepoints itu mengalami gangguan, korbannya adalah kawasan Asia Pasifik. Jepang, Cina, Korea Selatan akan menjerit!!! Harga minyak akan naik seketika!!! Om Kangguru Deputi Sheriff akan segera pamer otot!!!
Itu pernah kita lakukan sekitar tahun 1987. Persisnya saya lupa. Waktu itu Selat Lombok ditutup oleh Indonesia untuk kepentingan latihan AL. Jangka waktu penutupan selat itu nggak tanggung-tanggung, sekitar seminggu.
Yang paling protes yah om Kangguru. Tapi dia nggak bisa apa-apa waktu itu, soalnya militer kita, khususnya AL, staminanya lagi kuat-kuatnya. Militernya nggak bisa macam-macam sama kita waktu itu, nggak kayak sekarang. Dia cuma bisa kirimkan nota protes, yang sekarang jadi tugas pokok diplomat Indonesia.
Kalau kita kaitkan dengan strategi 1-4-2-1 punya Amerika Serikat, tantangannya buat Indonesia adalah jamin stabilitas kawasan!!! Singkatnya, jaga stabilitas wilayah sendiri, di darat dan di laut. Kalau udara tak perlu, yang ada kan cuma burung. Burung nggak akan bikin kacau stabilitas. Yang bikin kacau itu manusia.
Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab (in charge) terhadap stabilitas Indonesia? Menko Polhukam? Menteri Pertahanan? Panglima TNI? Bos sipil bersenjata dari Trunojoyo?
Kalau itu susah untuk dijawab, itulah cerminan manajemen keamanan nasional kita. Melihat fungsi yang dikaitkan dengan teori, Panglima TNI jelas bukan penanggung jawabnya. Domain dia cuma militer. Apalagi bos sipil yang satu itu!!! Nggak ada presedennya di dunia sipil bersenjata jadi penanggung jawab stabilitas suatu negara!!! Apalagi kawasan!!!
Yang paling mungkin dan mendekati adalah Menteri Pertahanan. Kalau Menko Polhukam, jelas bukan. Dia kan cuma mengkoordinasi, tak punya wewenang operasional. Jabatan itu nggak ada pun republik ini tetap akan ada. Kan para menteri lain sebenarnya sangat cerdas kok kalo cuma soal berkoordinasi, nggak perlu diatur oleh seorang menteri khusus.
Cuma Menteri Pertahanan belum mempunyai legitimasi untuk itu, sebab manajemen keamanan nasional kita belum jelas. Dulu Departemen Pertahanan bikin konsep RUU Keamanan Nasional, tapi nggak jalan gara-gara sipil bersenjata itu yang tolak karena merasa keamanan nasional domain dia. Dan supaya nggak gontok-gontokan, diadakanlah jalan pagi bersama oleh bos besar republik yang diikuti oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat. Setelah jalan pagi bersama, konsep masuk laci. Suatu win-win solution yang tidak mengacu pada kepentingan nasional !!!
Pertanyaannya, mampukan kita menjamin stabilitas wilayah kita ? Kalau tak mampu, orang lain yang masuk amankan. Entah itu sang Sheriff atau cukup deputinya aja. Mengutip ucapan Admiral William J. Fallon tahun 2005 waktu jadi Commander, U.S. Pacific Command soal Indonesia, ”they (American) want to see deeds in addition to words”.

Tidak ada komentar: