22 Juni 2010

Fregat Atau Korvet?

All hands,
Kebutuhan Indonesia akan kapal kombatan ke depan sudah seharusnya dikaji dengan matang, di antaranya memperhatikan faktor kebutuhan operasional. Faktor kebutuhan operasional berarti harus bersifat komprehensif, artinya mencakup semua kemampuan peperangan yang harus dimiliki oleh Angkatan Laut. Setidaknya ada empat kemampuan peperangan yang harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan, yaitu peperangan permukaan, peperangan kapal selam, peperangan udara dan peperangan elektronika.
Kenapa harus dikaji dengan matang? Jawabannya tak lain karena selama ini ada kesan bahwa pengadaan kapal kombatan kurang dikaji secara matang dari segala aspek. Misalnya, ada kapal kombatan yang mempunyai dek heli tetapi tidak mengantisipasi perkembangan heli anti kapal selam. Akibatnya, nyaris tidak ada heli anti kapal selam yang tersedia di pasaran yang mampu onboard di kapal tersebut.
Dari kasus itu dapat ditarik kesimpulan awal bahwa untuk mewadahi kemampuan peperangan anti kapal selam, jenis kapal kombatan yang tepat bagi Indonesia adalah fregat. Sebab dimensi fregat yang berkisar pada 100 meter atau lebih membuatnya bisa menyediakan ruang yang lebih luas bagi dek heli. Selain tonasenya yang lebih besar sehingga mampu menampung heli anti kapal selam yang rata-rata berbobot sekitar 10 ton atau bahkan lebih.
Selain itu, perlu dipertimbangkan kembali agar kapal kombatan ke depan mempunyai spesialisasi khusus, entah itu anti kapal selam, anti kapal permukaan atau anti peperangan udara. Semua itu apabila dikaji akan menemukan jawaban pada kapal jenis fregat. Dimensi dan tonase fregat lebih memungkinkan untuk dipersenjatai lebih memadai dibandingkan dengan korvet.
Wilayah operasi Angkatan Laut negeri ini yang sebagian di antaranya berhadapan langsung dengan laut lepas seperti di Laut Natuna, Samudera India dan Laut Arafura menjadikan pula fregat sebagai pilihan yang realistis dan sesuai kebutuhan operasional. Memang kalau dipaksakan kapal tipe korvet pun bisa beroperasi di sana, akan tetapi dalam kondisi cuaca buruk maka kondisi para pengawaknya akan “ampun-ampun”. Kalau kondisinya “ampun-ampun”, lalu bagaimana mengharapkan mereka bisa melaksanakan misi sesuai dengan yang telah ditetapkan, apalagi bila misinya adalah misi tempur laut.
Sudah waktunya kekuatan laut negeri ini dirancang untuk mission oriented, bukan lagi terpaku pada budget oriented. Kalau masih bersikukuh pada budget oriented, tinggal soal waktu saja Indonesia akan mengalami kerugian yang fatal pada domain maritim.

3 komentar:

Prima mengatakan...

antara kuantitas dan kualitas.....

antara budget dan niat membangun....

kadang saya yang awam pun tersenyum miris saat ada pengambil kebijakan yang menilai alutsista dari bentuk luarnya saja

dan kalau bener-bener ingin beranjak ke green water navy maka jumlah kapal yang berkelas frigate ke atas harus bener2 diperhatikan

sedikit dari saya orang awam
salam

Anonim mengatakan...

pemikiran2 anda bagus..anda seorang pemikir/pengamat? coba dijadikan buku

Anonim mengatakan...

Sepertinya para pemimpin TNI (AL) Dephan / Pemerintah masih menganut teori bahwa Indoensia adalah negara pantai dan yg dijaga hanya jalur laut antar Pulau saja serta belum memikirkan LAUT Garis terdepan dan Pulau Terluar.
Mungkin juga pegambil keputusan jarang berlayar di laut bebas di daerah Arafuru yg bergelombang besar, Natuna dan pulau pulau terluar Indonesia yang menghadap ke laut bebas
Kalau Korvet dipaksa melaut di pulau terluar dan laut bebas jadi muntah muntah crew dan awaknya karena hantaman gelombang yang cukup tinggi/besar, bahkan mungkin Heli yg digotongnya terbalik sebelum terbang karena hantaman Gelombang yang menggoyang Inul Kapal Korvet tersebut
TNI AL perlu Fregat dan heli berkemampuan ASuW
Apakah PT. DI bisa membuat Heli tersebut meski dibaah Lisensi Super Puma/Cougar dan NBell yg telah dimodifikasi?

salam
tempakoel