28 Oktober 2008

Menguji Ketulusan Singapura

All hands,
Bila mau jujur dalam pengamanan Selat Malaka dan Selat Singapura, Indonesia lebih banyak sebagai pecundang. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia punya peluang untuk mengubah posisinya dari pecundang menjadi pemenang atau setidaknya pihak yang diuntungkan? Sudah pasti jawabannya adalah ya, dengan syarat pemerintah mampu memanfaatkan posisi tawar yang sebenarnya ada.
Indonesia harus mampu menekan Singapura agar nilai informasi yang diberikan dalam sistem Surpic ditingkatkan yang dilakukan bersamaan dengan pelebaran lebar bandwidth sistem tersebut. Adapun informasi yang harus didapatkan Indonesia adalah tentang asal pelabuhan keberangkatan terakhir kapal, apa muatannya dan tujuan pelabuhan berikutnya. Selain itu, Indonesia juga membutuhkan data-data tentang perahu-perahu kecil yang berlalu lalang di kedua selat.
Hal ini lebih bermanfaat bagi Indonesia sebab Indonesia harus mengawasi kapal-kapal segala jenis dan ukuran yang berlayar melalui perairannya, agar jangan sampai memuat barang-barang contraband seperti rudal, bahan nuklir dan sebagainya. Begitu juga dengan pengawasan terhadap perahu-perahu kecil, baik untuk mencegah penyelundupan dari Indonesia ke Singapura maupun mencegah potensi terjadinya serangan terorisme maritim. Seperti kita tahu, modus serangan terorisme maritim seringkali menggunakan perahu-perahu kecil berkecepatan tinggi untuk menghantam sasarannya, khususnya kapal-kapal besar.
Kalau Singapura nggak mau penuhi permintaan itu, sebenarnya Indonesia tidak rugi. Sebab kita sudah mempunyai jaringan radar pengamatan sebagai bagian dari proyek IMSS. Dalam kondisi sekarang dan ke depan, tanpa Surpic pun Indonesia nggak apa-apa kok, toh sudah ada IMSS.
Masalah peningkatan pemberian informasi dari Singapura dalam kerangka Surpic sebenarnya merupakan uji kasus apakah negeri kecil yang licik itu tulus bekerja sama dengan Indonesia untuk kepentingan bersama dan bukan hanya untuk kepentingan dia secara sepihak.
Singapura selama ini banyak curang dan tidak jujur kepada Indonesia. Waktu Latgab TNI 2008 di Sangata saja dia jamming komunikasi dan sensing TNI selama 30 menit. Apakah tindakan itu menunjukkan persahabatan atau tidak? Apakah tindakan itu menunjukkan solidaritas ASEAN atau tidak?
Bagi kalangan militer, jawabannya jelas tidak. Tapi bagi kalangan pecinta perdamaian dunia di Pejambon, jawabannya bisa lain. Menyedihkan!!!
Kalau Malaysia saja yang langgar wilayah kita di Laut Sulawesi (Ambalat) kita kirim nota diplomatik (biar orang Deplu ada kerjaan), tindakan Singapura jamming kita didiamkan saja tuh. Apakah sudah capai bikin nota diplomatik??? Bukankah Deplu kita jagoan bikin nota diplomatik tuh???
Singapura tidak tulus bekerja sama dengan Indonesia dalam isu keamanan maritim juga bisa dilihat dari peran Information Sharing Center (ISC) milik ReCAAP yang bermarkas di negeri licik dan rakus itu. Dari dulu sampai sekarang dia nggak pernah berbagai informasi mengenai pergerakan kapal di sekitar perairan Selat Singapura dan Selat Malaka kepada Indonesia lewat ISC. Padahal di forum-forum diplomatik negeri itu tidak henti-hentinya membual bahwa information sharing itu penting bagi keamanan maritim. Tapi mana buktinya?
Kembali ke pertanyaan pokok, apakah Singapura tulus bekerja sama dengan Indonesia? Indonesia wants to see deeds in addition to words!!!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

lagi2 nyindir deplu