20 Oktober 2008

Teknologi dan Paradigma

All hands,
Penerapan revolution in military affairs (RMA) merupakan hal yang tidak bisa ditolak-tolak lagi. Seiring makin majunya teknologi militer, sistem senjata militer beserta pendukungnya makin canggih teknologinya. Bahkan peran pengawakan manusia untuk sistem senjata dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sama sekali.
Misalnya soal penggunaan pesawat tak berawak alias unmanned aerial vehicle (UAV) atau unmanned aerial system (UAS) yang kini meluas untuk tugas-tugas pengamatan dan pengintaian. Termasuk pula di lingkungan Angkatan Laut di dunia yang digunakan untuk kepentingan maritim domain awareness (MDA).
Bagi negara-negara maju, penerapan RMA tidak terlalu banyak menghadapi kendala, baik teknis maupun non teknis. Tetapi hal itu akan berbeda apabila diaplikasikan di negara-negara berkembang, yang salah satu kendalanya adalah budaya.
Yang dimaksud budaya di sini adalah kemauan untuk mengubah kebiasaan lama yang sudah puluhan tahun dilaksanakan. Ini yang sulit, karena pasti akan menimbulkan ”resistensi”. Sebagai contoh, untuk penggunaan UAV/UAS untuk kepentingan pengamatan dan pengintaian, mungkin akan menyenangkan bagi unsur kapal perang.
Sebab memperluas daya jangkau sensing mereka yang selama ini cuma andalkan radar dan sekali-sekali didukung unsur penerbangan. Namun apakah itu tidak akan menimbulkan resistensi dari unsur penerbangan yang selama ini merupakan kepanjangan mata dari kapal perang? Pihak lain bisa saja berpendapat bahwa kehadiran UAV/UAS justru meringankan tugas unsur penerbangan, namun pendapat demikian belum tentu diamini oleh pihak terkait.
Contoh lainnya adalah kian sedikitnya awak kapal yang dibutuhkan untuk mengawaki kapal perang generasi terakhir. Karena sebagai pekerjaan di kapal sudah diambil alih oleh komputer, diotomasi. Hal ini masih menjadi kendala buat di negara-negara seperti Indonesia yang Angkatan Lautnya masih anut paradigma padat karya dalam pengawakan kapal.
Untuk menghadapi ”resistensi-resistensi” itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma. Paradigma bahwa perang masa kini dan masa depan sebagian di antaranya sudah push button war, perang di masa kini dan masa depan dilakukan dari jarak jauh, perang di masa kini dan masa depan sebagian dilakukan dengan pengawakan sistem senjata yang jauh lebih sedikit, perang di masa kini dan masa depan sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi informasi dan perang di masa kini dan masa depan center of gravity-nya sangat banyak.
Hanya dengan mengubah paradigma maka kita dapat mengikuti kemajuan teknologi militer yang sangat berpengaruh terhadap tataran strategis, taktis, teknis dan prosedur militer. Tanpa perubahan paradigma, kita tak akan bisa paham apa yang sesungguhnya terjadi di lingkungan kita.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

bagaimana bisa, keinginan saja tidak,... coba saja berapa banyak sarjana teknik mesin yang sudah lulus dari universitas yang ada di Indonesia? klo yang S2 bagaimana? bagaimana juga yang sudah S3???? dari sekian banyak mana bukti nyata dai para enginer tersebut... jangan-jangan TA, Tesis atau Disertasi mereka hanya akal-akalan saja..... Negara ini perlu buktinyata bung!

Anonim mengatakan...

Ruang lingkup bahasan saya cuma terbatas pada AL, tidak pada komponen di luar AL. Mohon tidak keluar dari ruang lingkup. Soal yang terjadi di luar AL, itu semestinya tanggungjawab pihak-pihak terkait khususnya pemerintah, industri, lembaga riset dan perguruan tinggi. Soal bukti nyata, sepanjang komponen itu berada di luar domain AL, harus ada pihak lain yang bertanggungjawab soal itu.