02 Desember 2010

Kasus Kapal Selam India

All hands,
India sejak meraih kemerdekaan merupakan negeri yang terus berupaya untuk memenuhi sendiri kebutuhan sistem senjata bagi Angkatan Bersenjatanya. Upaya itu tidak lepas dari prinsip Swadeshi yang dicanangkan oleh Mahatma Gandhi, Bapak Spiritual nasionalisme negeri itu. Tak aneh kalau India tercatat sebagai negara yang merajai soal lisensi, co-production dan lain sebagainya. Indonesia yang berambisi mengikuti jejak India, meskipun sudah tertinggal lebih dari 50 tahun, harus banyak belajar dari pengalaman India dalam soal pemenuhan kebutuhan sistem senjata secara mandiri.
Salah satu pelajaran yang dapat ditarik adalah kasus lisensi enam kapal selam kelas Scorpene buatan DCNS. Sesuai dengan perjanjian antara pemerintah India dan galangan DCNS Prancis, India akan memproduksi secara lisensi kapal selam tersebut di galangan Mazagon Dock Ltd. Kapal selam pertama diproyeksikan akan diserahkan kepada Angkatan Laut India pada 2012. Namun apa yang terjadi kemudian?
Rencana 2012 tersebut akan gagal tercapai, karena hingga kini masih ada ganjalan antara pemerintah India dengan galangan DCNS. Ganjalan itu terkait dengan perjanjian yang detail tentang transfer teknologi, di mana kedua belah pihak belum mencapai kata sepakat. Sebagai produsen dan pemegang cetak biru, tentu saja DCNS memberikan persyaratan yang ketat dalam rancangan perjanjian transfer teknologi kapal selam DCNS kepada India.
Kaitannya dengan Indonesia, perlu diwaspadai skenario demikian juga terjadi di Indonesia terkait dengan ambisi Indonesia, khususnya Departemen Pertahanan, untuk memproduksi kapal selam melalui pola transfer teknologi. Transfer teknologi mudah diucapkan dan ditulis, akan tetap sangat sulit implementasinya di lapangan. Sebab isu itu terkait aspek politik, ekonomi, teknologi dan militer. Isu transfer teknologi berpotensi menjadi kerikil dalam pengadaan kapal selam pengganti U-209/1300 yang saat ini dioperasikan oleh kekuatan laut Indonesia apabila Departemen Pertahanan bersikeras menggunakan pengadaan lewat pola itu dan menolak opsi pembelian kapal selam utuh beserta sistem senjatanya seperti yang selama ini ditempuh.
Kerikil itu kalau terwujud akan berpengaruh langsung pada aspek operasional Angkatan Laut. Pertanyaannya, sudahkah skenario buruk ini didesain oleh Departemen Pertahanan?

Tidak ada komentar: