All hands,
Indonesia sudah sepantasnya dan semestinya menjadi pemimpin ASEAN, sebab negeri ini merupakan negeri terbesar di kawasan Asia Tenggara. Artinya, stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara juga tergantung pada stabilitas keamanan Indonesia itu sendiri. Di masa lalu peran kepemimpinan itu telah dimainkan dengan baik antara lain berkat kepemimpinan di Indonesia yang kuat. Sekarang dengan posisi Indonesia sebagai ASEAN Chairman selama 2011, peluang untuk merebut kembali tampuk kepimpinan yang lepas sebenarnya terbuka lebar.
Peluang tersebut sudah seharusnya dimanfaatkan oleh Indonesia, sehingga pada tahun-tahun berikutnya Jakarta tetap menjadi pemimpin de facto ASEAN walaupun ASEAN Chairmanship telah beralih ke negara anggota ASEAN lainnya. Apabila ada niat Indonesia untuk merebut kembali posisi kepemimpinan ASEAN, perlu diperhatikan dengan seksama tantangan yang dihadapi. Satu di antaranya adalah mengidentifikasi dengan jelas siapa musuh dalam selimut di ASEAN.
Kalau diperhatikan secara seksama dan tidak dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, musuh dalam selimut di ASEAN terkait kepemimpinan de facto ASEAN bagi Indonesia ada dua, yaitu Negeri Tukang Klaim dan Negeri Penampung Koruptor. Ada Manila, Bangkok dan ibukota-ibukota lainnya di Asia Tenggara cukup tahu diri. Yang tidak tahu diri adalah dua negeri tetangga Indonesia tersebut.
Banyak contoh soal itu, seperti dalam isu keamanan maritim. Selain kasus ADMM+ 2010 di Hanoi, inisiatif Singapura untuk menjadi tempat bermarkasnya ISC bagi keamanan maritim adalah contoh berikutnya. Kedua negara juga berkolaborasi dalam FPDA yang sangat jelas ditujukan untuk mengecilkan lebensraum Indonesia.
Guna menghadapi tantangan ini, dibutuhkan kesamaan persepsi dan pola tindak dari berbagai elemen di Indonesia. Selama ini ego sektoral lebih mengedepan di Indonesia, termasuk dalam soal keamanan maritim, sehingga dengan gampang disusupi oleh pihak-pihak yang tidak suka bila Indonesia kuat dan menjadi pemimpin de facto ASEAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar