All hands,
Pasca Perang Dingin, operasi Angkatan Laut multinasional telah menjadi kecenderungan utama di dunia. Tonggak pertamanya adalah Perang Teluk 1990 dengan Operasi Desert Storm yang dimotori oleh Angkatan Laut Amerika Serikat dan melibatkan Angkatan Laut negara-negara lain. Operasi Enduring Freedom dan Operasi Iraqi Freedom kembali menjadi ajang berikutnya operasi Angkatan Laut multinasional. Sebelumnya pada era 1990-an untuk memblokade eks Yugoslavia, digelar Operasi Sharp Guard dan Operasi Maritime Guard.
Adapula Operasi Allied Force untuk memblokade eks Yoguslavia terkait Perang Kosovo. Tidak dapat dilewatkan pula CTF-150 di sekitar perairan Tanduk Afrikan dan Laut Arab dalam rangka mendukung Operasi Enduring Freedom. Begitu juga dengan Operasi Atalanta guna merespon aksi pembajakan dan perompakan di perairan sekitar Somalia.
Benang merah dari semua itu adalah mengedepannya operasi Angkatan Laut multinasional. Hal serupa dirasakan pula di kawasan Asia Pasifik. Lihat saja berbagai pertemuan dan latihan rutin antar Angkatan Laut kawasan, salah satu topik yang dibahas dan diujicoba/dilatihkan di lapangan adalah operasi Angkatan Laut multinasional. Entah itu di WPNS, CARAT, SEACAT, COBRA GOLD, IONS dan lain sebagainya.
Terkait dengan operasi Angkatan Laut multinasional ini, menjadi pertanyaan yaitu apakah masih relevan sikap Indonesia untuk hanya menggelar operasi multinasional yang berada di bawah panji PBB? Sebab yang menjadi arus utama di kawasan Asia Pasifik bukan operasi di bawah panji PBB, tetapi operasi di bawah bendera multinasional dengan Amerika Serikat sebagai penjurunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar