All hands,
Seiring dengan semakin kuatnya Angkatan Laut Cina di kawasan, dalam lima tahun ke depan Indonesia harus mengantisipasi kemungkinan campur tangan Cina dalam pengamanan perairan teritorial Indonesia, khususnya pengamanan choke points seperti Selat Malaka dan Selat Lombok. Sebab meskipun secara politik Cina selalu mendengungkan tak akan campur tangan urusan dalam negeri lain berdasarkan prinsip non intervensi, akan tetapi dalam prakteknya tidak demikian. Secara halus Cina mulai berupaya melanggar prinsip yang selama ini didengung-dengungkannya seperti bisa dilihat dari kejadian pada 2010.
Dari situlah pentingnya Indonesia bersiap menghadapi kondisi demikian. Indonesia, khususnya Angkatan Laut negeri ini, harus siap dengan konsep untuk menghadapi kemungkinan campur tangan Cina. Bukan suatu hal yang mustahil bila suatu saat nanti Cina secara halus meminta turut dilibatkan dalam pengamanan Selat Lombok, misalnya dengan meminta Indonesia berkonsultasi dengannya. Permintaan Beijing pasti ditindaklanjuti dengan menyebarkan gugus tugas Angkatan Lautnya ke sini dengan berbagai macam kedok seperti singgah dalam perjalanan pergi dan pulang dari operasi di perairan Somalia.
Mustahil Cina dengan Angkatan Laut yang makin kuat tidak akan cawe-cawe di perairan Indonesia, sebab hal itu merupakan karakter kekuatan besar. Cawe-cawe itu akan mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia yang terkait dengan domain maritim. Terlebih lagi urusan choke points bukan hanya Beijing yang hirau, Washington dan Canberra jauh lebih hirau.
Dari gambaran singkat ini tergambar bahwa kebijakan Jakarta yang menyerahkan focal point keamanan maritim dalam ADMM+ kepada Australia dan Negeri Tukang Klaim merupakan kebijakan yang salah besar. Sebab situasi ini pasti akan merumitkan situasi keamanan maritim di kawasan karena sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan antara Canberra-Beijing tidak selalu mesra walaupun Beijing tergantung pula pada biji besi dari Canberra. Seandainya Jakarta yang menjadi focal point keamanan maritim dalam ADMM+, tentu situasinya akan lain. Alasannya sederhana, Beijing masih lebih in favour of Jakarta daripada Canberra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar