All hands,
Dalam konsep operasi maritim, eksistensi kekuatan udara merupakan suatu keharusan. Oleh sebab itu, nggak aneh bila kita mempelajari sejarah perang laut di abad ke-20, kekuatan udara mempunyai peran tersendiri. Khususnya dalam Perang Dunia Kedua di Samudera Pasifik. Dibandingkan dengan di Samudera Atlantik, peran kekuatan udara di Samudera Pasifik lebih menonjol karena mandala operasi di Pasifik memang didominasi oleh lautan.
Kalau kita menyentuh kekuatan udara, kita harus melihatnya secara jernih. Kekuatan udara bagi operasi maritim tidak selalu identik dengan AU. Bahkan AL mempunyai kekuatan udara sendiri yang dikenal sebagai naval air wing. Naval air wing tugasnya kebanyakan pada tataran taktis dan dia melekat pada kapal perang. Pemahaman ini sudah umum di negara-negara maju, bahwa AL butuh kekuatan udara sendiri.
Yang masih jadi masalah itu di negeri seperti Indonesia. Di sini AU terkesan mau dominasi kekuatan udara. Padahal sebenarnya di negeri ini sudah ada kesepakatan tidak tertulis soal pembagian tugas di udara. Soal pertahanan udara itu urusan AU, tapi kalau soal serangan udara ke permukaan bukan didominasi oleh AU.
Faktanya, AL dan AD sulit kalau bergantung pada AU untuk menjadi payung udara ketika operasi. Misalnya AL kalau konvoi, kan nggak mungkin pesawat tempur AU jadi payung udara terus. Endurance-nya terbatas, dia harus kembali ke pangkalan untuk bekal ulang.
Okelah ada pesawat tempur AU yang bisa air refuelling, tapi faktanya sistem air refuelling di pesawat tanker C-130B Hercules nggak bisa untuk semua pesawat tempur. C-130B kan sistem pengisiannya hose, sementara ada pesawat tempur AU yang hanya bisa pake sistem boom. Jadi C-130B nggak bisa layani semua pesawat tempur AU.
Kemudian, konvoi itu kan berlayar siang malam. Pesawat tempur AU sebagian besar ---khususnya buatan Barat--- bertipe tempur siang hari/daylight fighter. Pesawat itu dirancang untuk bertempur di siang hari. Kalau begitu, gimana bisa jadi payung udara AL.
Lalu solusinya bagaimana? Karena anggaran kita masih terbatas, sebaiknya pembangunan kekuatan udara AL kita difokuskan dulu untuk kemampuan anti kapal selam/AKS dan patroli maritim. Untuk AKS, sebaiknya pakai heli karena dengan demikian dia mudah untuk melekat pada unsur kapal perang.
Sedangkan untuk patroli maritim, kontrak AL kita dengan PT.DI untuk pengadaan dua CN-235 MPA merupakan langkah bagus. Asalkan peralatan yang diusung pesawat itu memang murni untuk AKS.
Dalam konsep operasi maritim, eksistensi kekuatan udara merupakan suatu keharusan. Oleh sebab itu, nggak aneh bila kita mempelajari sejarah perang laut di abad ke-20, kekuatan udara mempunyai peran tersendiri. Khususnya dalam Perang Dunia Kedua di Samudera Pasifik. Dibandingkan dengan di Samudera Atlantik, peran kekuatan udara di Samudera Pasifik lebih menonjol karena mandala operasi di Pasifik memang didominasi oleh lautan.
Kalau kita menyentuh kekuatan udara, kita harus melihatnya secara jernih. Kekuatan udara bagi operasi maritim tidak selalu identik dengan AU. Bahkan AL mempunyai kekuatan udara sendiri yang dikenal sebagai naval air wing. Naval air wing tugasnya kebanyakan pada tataran taktis dan dia melekat pada kapal perang. Pemahaman ini sudah umum di negara-negara maju, bahwa AL butuh kekuatan udara sendiri.
Yang masih jadi masalah itu di negeri seperti Indonesia. Di sini AU terkesan mau dominasi kekuatan udara. Padahal sebenarnya di negeri ini sudah ada kesepakatan tidak tertulis soal pembagian tugas di udara. Soal pertahanan udara itu urusan AU, tapi kalau soal serangan udara ke permukaan bukan didominasi oleh AU.
Faktanya, AL dan AD sulit kalau bergantung pada AU untuk menjadi payung udara ketika operasi. Misalnya AL kalau konvoi, kan nggak mungkin pesawat tempur AU jadi payung udara terus. Endurance-nya terbatas, dia harus kembali ke pangkalan untuk bekal ulang.
Okelah ada pesawat tempur AU yang bisa air refuelling, tapi faktanya sistem air refuelling di pesawat tanker C-130B Hercules nggak bisa untuk semua pesawat tempur. C-130B kan sistem pengisiannya hose, sementara ada pesawat tempur AU yang hanya bisa pake sistem boom. Jadi C-130B nggak bisa layani semua pesawat tempur AU.
Kemudian, konvoi itu kan berlayar siang malam. Pesawat tempur AU sebagian besar ---khususnya buatan Barat--- bertipe tempur siang hari/daylight fighter. Pesawat itu dirancang untuk bertempur di siang hari. Kalau begitu, gimana bisa jadi payung udara AL.
Lalu solusinya bagaimana? Karena anggaran kita masih terbatas, sebaiknya pembangunan kekuatan udara AL kita difokuskan dulu untuk kemampuan anti kapal selam/AKS dan patroli maritim. Untuk AKS, sebaiknya pakai heli karena dengan demikian dia mudah untuk melekat pada unsur kapal perang.
Sedangkan untuk patroli maritim, kontrak AL kita dengan PT.DI untuk pengadaan dua CN-235 MPA merupakan langkah bagus. Asalkan peralatan yang diusung pesawat itu memang murni untuk AKS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar