All hands,
Meskipun sudah 10 tahun memasuki era reformasi, tetapi nggak ada reformasi dalam strategi pertahanan Indonesia. Saya berani bilang begini karena kita semua paham betul bahwa strategi pertahanan yang kita anut masih peninggalan zaman represif. Itu suatu strategi yang sudah tidak sesuai lagi dengan konteks strategis kini dan ke depan.
Apabila ditanya tentang strategi pertahanan Indonesia, baik Departemen Pertahanan maupun TNI dengan yakin dan bangga bilang strategi pertahanan kita strategi pertahanan berlapis. Berlapis seperti apa? Teorinya, musuh dipukul ketika masih dalam perjalanan ke Indonesia, di wilayah ZEE dan ruang udara di atas. Kemudian dipukul lagi ketika sudah memasuki perairan teritorial Indonesia. Kalau masih nggak bisa dikalahkan, lawan mendarat di wilayah daratan Indonesia dan TNI masuk hutan alias bergerilya (MEMANGNYA MASIH ADA HUTAN SEKARANG???).
Nggak usah ragu untuk bilang strategi pertahanan berlapis itu kuno. Strategi itu tak lain merupakan pembenaran untuk tidak bangun kekuatan laut dengan alasan kita masih miskin. Sehingga mendorong AD untuk terus bernostalgia dengan semangat juang 45 di tengah hutan alias bergerilya. Mana ada gerilya di tengah hutan sekarang.
In 2008, bukan 1945 Bung!!! Ini era network-centric warfare!!! Ini era digital, bukan era morse.
Perang Irak membuktikan bahwa gerilya itu di kota. Lesson learned-nya itu. Mereka hantam militer Amerika Serikat di kota, menggunakan metode peperangan generasi keempat.
AD kita mau berperang menggunakan metode peperangan generasi kedua sekaligus berhalusinasi seolah-olah ini dunia 1945. Seolah-olah hutan Indonesia masih seperti 1945. Padahal kondisi nyata menunjukkan hutan kita sudah habis jadi kebun sawit, area tambang dan lain-lain. Terus mau gerilya di mana?
Bagi Angkatan Laut, menurut saya nggak ada bukti AL dipersiapkan oleh pemerintah untuk melaksanakan strategi pertahanan berlapis. Contohnya gampang. Lihat saja berapa banyak kapal kombatan kita yang mampu untuk ocean going, mampu bertempur di Laut Natuna, Samudera India dan Samudera Pasifik yang sea state-nya di atas 6?
Kalau korvet, kita nggak usah berangan-angan itu bisa dipakai untuk di perairan-perairan itu. Untuk fregat, bolehlah. Sayang usia fregat kelas Van Speijk itu harus diperhitungkan pula.
Dari contoh-contoh itu jelas bahwa strategi pertahanan berlapis itu cuma teori saja. Adanya di atas kertas, bukan di alam nyata. Padahal Geoffrey Till bilang strategi tidak bekerja di alam vakum.
Meskipun sudah 10 tahun memasuki era reformasi, tetapi nggak ada reformasi dalam strategi pertahanan Indonesia. Saya berani bilang begini karena kita semua paham betul bahwa strategi pertahanan yang kita anut masih peninggalan zaman represif. Itu suatu strategi yang sudah tidak sesuai lagi dengan konteks strategis kini dan ke depan.
Apabila ditanya tentang strategi pertahanan Indonesia, baik Departemen Pertahanan maupun TNI dengan yakin dan bangga bilang strategi pertahanan kita strategi pertahanan berlapis. Berlapis seperti apa? Teorinya, musuh dipukul ketika masih dalam perjalanan ke Indonesia, di wilayah ZEE dan ruang udara di atas. Kemudian dipukul lagi ketika sudah memasuki perairan teritorial Indonesia. Kalau masih nggak bisa dikalahkan, lawan mendarat di wilayah daratan Indonesia dan TNI masuk hutan alias bergerilya (MEMANGNYA MASIH ADA HUTAN SEKARANG???).
Nggak usah ragu untuk bilang strategi pertahanan berlapis itu kuno. Strategi itu tak lain merupakan pembenaran untuk tidak bangun kekuatan laut dengan alasan kita masih miskin. Sehingga mendorong AD untuk terus bernostalgia dengan semangat juang 45 di tengah hutan alias bergerilya. Mana ada gerilya di tengah hutan sekarang.
In 2008, bukan 1945 Bung!!! Ini era network-centric warfare!!! Ini era digital, bukan era morse.
Perang Irak membuktikan bahwa gerilya itu di kota. Lesson learned-nya itu. Mereka hantam militer Amerika Serikat di kota, menggunakan metode peperangan generasi keempat.
AD kita mau berperang menggunakan metode peperangan generasi kedua sekaligus berhalusinasi seolah-olah ini dunia 1945. Seolah-olah hutan Indonesia masih seperti 1945. Padahal kondisi nyata menunjukkan hutan kita sudah habis jadi kebun sawit, area tambang dan lain-lain. Terus mau gerilya di mana?
Bagi Angkatan Laut, menurut saya nggak ada bukti AL dipersiapkan oleh pemerintah untuk melaksanakan strategi pertahanan berlapis. Contohnya gampang. Lihat saja berapa banyak kapal kombatan kita yang mampu untuk ocean going, mampu bertempur di Laut Natuna, Samudera India dan Samudera Pasifik yang sea state-nya di atas 6?
Kalau korvet, kita nggak usah berangan-angan itu bisa dipakai untuk di perairan-perairan itu. Untuk fregat, bolehlah. Sayang usia fregat kelas Van Speijk itu harus diperhitungkan pula.
Dari contoh-contoh itu jelas bahwa strategi pertahanan berlapis itu cuma teori saja. Adanya di atas kertas, bukan di alam nyata. Padahal Geoffrey Till bilang strategi tidak bekerja di alam vakum.
1 komentar:
Biasa lah Indonesia kan suka mewarisi hal-hal jadul tapi ga di-update, kek hukum yang berlaku di Indonesia itu loh.
Posting Komentar