All hands,
Pembangunan kapal perang di galangan perkapalan nasional di Surabaya melalui proyek PKR kini sudah memasuki babak realita, bukan lagi babak mimpi. Artinya, mimpi-mimpi indah sebagian pihak di Indonesia soal pelaksanaan proyek tersebut kini harus berhadapan dengan realita. Realita bahwa pemegang kunci dalam proyek ini bukan galangan perkapalan Indonesia, tetapi galangan perkapalan Belanda. Realita bahwa sebagian besar teknologi pembangunan kapal fregat itu dikuasai oleh Royal Schelde, bukan PT PAL. Realita bahwa subsistem pendukung PKR seperti sewaco dan propulsi dipasok oleh berbagai vendor dari Eropa Barat, bukan dari Indonesia.
Dalam pembangunan PKR di galangan perkapalan Indonesia tersebut, paling sedikit ada dua blok yang akan dibangun di galangan Royal Schelde. Keduanya mencakup sewaco dan propulsi, yang setelah dibangun baru kemudian akan dikapalkan ke Surabaya. Mengapa kedua subsistem itu digarap di Belanda?
Jawabannya tak bukan dan tidak lain karena vendor kedua subsistem adalah perusahaan-perusahaan Eropa yang secara geografis sangat dekat dengan Belanda. Misalnya Thales, Oto Melara, Pilstick dan lain sebagainya. Jaringan kedua subsistem sudah terbangun mapan di Eropa dan merupakan suatu cluster tersendiri.
Boleh saja pihak tertentu di Indonesia bersikeras agar pembangunan kedua subsistem dilakukan di Indonesia. Akan tetapi hal tersebut harus memperhatikan aspek teknologi, biaya dan jarak. Aspek teknologi yaitu tidak ada produsen subsistem yang mau memberikan cetak biru produknya secara gratis kepada konsumen. Singkatnya, Indonesia jangan berharap ada makan siang gratis.
Tentang aspek biaya, diperlukan biaya tambahan untuk membangun sistem itu di Indonesia, misalnya mendatangkan ratusan tenaga ahli dari masing-masing vendor subsistem ke Indonesia untuk pekerjaan integrasi sistem. Biaya mendatangkan mereka tidak murah, sebab semua kehidupan mereka di sini harus ditanggung oleh Indonesia. Tercakup pula dalam aspek biaya adalah ongkos pengangkutan berbagai komponen subsistem dari Eropa ke Indonesia.
Adapun soal aspek jarak, di kawasan Asia Pasifik belum ada cluster industri pertahanan seperti halnya di Eropa. Misalnya negara X spesialis pembuatan sewaco, negara Y keahliannya pada produksi senjata dan negara Z berfokus pada sistem pendorong. Sebab Asia bukanlah Eropa yang sudah matang melalui ratusan perang sejak era 1400-an hingga kini mampu berintegrasi menjadi satu komunitas.
Bertolak dari kondisi ini, sebaiknya Indonesia mengambil peluang yang realistis dari proyek PKR. Misalnya mematangkan ilmu membangun platform kapal perang, mematangkan ilmu soal integrasi sistem dalam kapal perang dan mematangkan diri sebagai "pencuri" ulung di bidang teknologi. Sebab dalam teknologi tidak dikenal adanya alih teknologi, yang dikenal cuma mencuri teknologi!!! Alih teknologi hanya bumbu politik yang mengecoh pihak yang tidak paham.
1 komentar:
You 're damn right, sir!
Posting Komentar