All hands,
Bangsa Indonesia sesungguhnya telah mengalami kemunduran 60 tahun selama ini, hanya saja kemunduran itu tak pernah disadari. Kemunduran itu terjadi by design dan bukan sebuah kesengajaan. Tentu saja menjadi pertanyaan kemunduran di bidang apa? Tak bukan dan tidak lain adalah kemunduran dalam bidang maritim.
Soal pentingnya pembangunan kemampuan maritim ---harus dibedakan antara kemampuan maritim dengan kemampuan Angkatan Laut--- telah didengungkan oleh pemimpin pertama republik ini sejak 1950. Tahun 1950 adalah tonggak baru kehidupan Republik Indonesia setelah pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas wilayah eks Hindia Belanda. Kalau mempelajari dengan cermat berbagai pikiran Presiden pertama republik ini, sangat jelas sejak 1950 Sang Bung Besar selalu mendorong dan memompakan semangat agar Indonesia menjadi penguasa di bidang maritim.
Salah satu bukti kebijakan Si Bung Besar adalah adanya postur Angkatan Laut yang kuat pada akhir 1950-an hingga pertengahan 1960-an. Si Bung Besar juga membangun sejumlah fasilitas penelitian terkait laut di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Ambon. Singkatnya, Pemimpin Besar Revolusi itu tidak sebatas berorasi dan retorika belaka, tetapi mampu mewujudkan mimpinya di tengah ekonomi Indonesia yang saat itu jauh dari stabil.
Kini sebagian anak bangsa Indonesia telah bangun dari mimpinya dan mulai berteriak soal pembangunan kekuatan maritim. Sangat disayangkan, teriakan itu sebenarnya sudah terlambat. Sebab pembangunan yang terkait laut saat ini yang dilakukan oleh pemerintah adalah pembangunan kelautan untuk mewujudkan negara kelautan, bukan mewujudkan negara maritim. Bagi sebagian kalangan awam tentu menjadi pertanyaan apa beda kelautan dengan maritim.
Kelautan adalah segala aktivitas yang terkait dengan sumber daya laut (marine), seperti menangkap ikan, pelestarian terumbu karang dan riset terkait sumber daya laut. Adapun maritim adalah segala aktivitas yang terkait dengan laut, entah itu pembangunan kekuatan Angkatan Laut, pembangunan pelabuhan, pengembangan jasa maritim, industri perkapalan, perdagangan lewat laut, penangkapan ikan, pelestarian lingkungan laut, riset terkait dengan laut dan lain sebagainya. Dari situ tergambar bahwa domain maritim jauh lebih luas daripada kelautan, sebab kelautan hanya satu bagian kecil dalam bingkai domain maritim.
Masalahnya, ada segelintir anak bangsa Indonesia yang terus berkampanye mengenai pembangunan negara kelautan. Artinya, mereka bermimpi membangun kejayaan Indonesia lewat aktivitas menangkap ikan dan pengelolaan sumber daya laut. Sementara tidak ada preseden sejarah dari peradaban manusia yang mencatat suatu negara berjaya dari aktivitas kelautan. Sebaliknya, catatan sejarah menunjukkan bahwa kejayaan berbagai bangsa hanya bisa tercapai apabila yang dibangun adalah aspek maritim, bukan aspek kelautan.
Tidak ada marine power dan tidak akan pernah ada marine power, sebaliknya pernah ada, tengah ada dan akan terus ada maritime power di dunia ini. Begitulah dialektika sejarah mengajar kepada manusia, namun sangat disayangkan dialektika itu rupanya tidak dibaca oleh segelintir anak bangsa Indonesia.
1 komentar:
sepakat bang allhand, saya baru saja menyelesaikan membaca buku Seapower in the 21st Century karya Geoffrey Till, miris rasanya melihat negara ini kok ga ada konsep pembangunan maritimnya, padahal secara geografis dan historis Indonesia adalah negara maritim, kok ya kalah jauh pemikirannya ketimbang Singapore
Posting Komentar