All hands,
Dewasa ini bangsa Indonesia tengah diserang oleh penyakit yang mematikan, yaitu hasrat dan ambisi untuk membangun jembatan antar pulau. Ada hasrat dan ambisi kuat bahwa (kalau bisa) semua pulau di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 17.000 dihubungkan dengan jembatan laut. Hasrat dan ambisi tersebut lahir karena memandang laut sebagai penghalang terhadap pembangunan ekonomi, seperti laut sebagai pemicu biaya tinggi dari kegiatan distribusi barang.
Kini ada ambisi membangun jembatan laut di Selat Sunda yang merupakan bagian dari ALKI I. Ada pula propinsi di Indonesia yang sangat berhasrat dan berambisi membangun jembatan laut di Selat Malaka ke wilayah Negeri Tukang Klaim.
Tidak sadarkah para petinggi propinsi yang ambisius itu bahwa mereka sekedar menjadi alat bagi pemuasan nafsu birahi geopolitik Negeri Tukang Klaim? Masalah jembatan laut di Selat Malaka bukan sekedar urusan ekonomi, tetapi juga politik yaitu perluasan geopolitik Negeri Tukang Klaim ke daratan Pulau Sumatera. Tidakkah para petinggi itu berpikir bahwa suatu saat nanti wilayah mereka akan dicaplok secara geopolitik oleh Negeri Tukang Klaim yang licik dan rasis itu? Dicaplok secara geopolitik artinya secara hukum wilayah propinsi itu masih masuk wilayah kedaulatan Indonesia, tetapi pengaruh politik yang ada di sana bukan pengaruh politik Jakarta, tetapi pengaruh politik Negeri Tukang Klaim.
Selama bangsa Indonesia masih memandang laut sebagai halangan, bangsa ini tak akan pernah maju secara politik, ekonomi dan militer. Kemajuan bangsa ini ditentukan seberapa mampu mengelola potensi maritim yang sudah diberkahi oleh Allah SWT, bukan mengelola potensi kelautan. Sebab kelautan hanyalah satu bagian kecil dalam sebuah bangunan besar yang bernama domain maritim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar