All hands,
Dalam era globalisasi, stabilitas keamanan kawasan merupakan hal yang tak bisa dikompromikan dan ditawar. Karena tulang punggung globalisasi adalah laut, maka stabilitas keamanan kawasan akan senantiasa terkait dengan keamanan maritim. Dengan kata lain, laut adalah sumber stabilitas maupun instabilitas kawasan.
Kerangka berpikir seperti ini hendaknya melekat pada para pengambil keputusan di Indonesia. Alasannya tak lain dan tidak bukan karena dua pertiga wilayah Indonesia adalah perairan, di mana wilayah perairan tersebut merupakan dua pertiga dari luas kawasan Asia Tenggara. Namun dalam realitanya, sangat disayangkan bahwa para pengambil keputusan ---khususnya di Departemen Pertahanan--- tidak berpikir dalam kerangka demikian. Sebagai bukti adalah kekalahan Indonesia dalam urusan focal point kerjasama ADMM+, di mana Indonesia secara sadar dan dengan sengaja menyerahkan urusan stabilitas keamanan maritim di kawasan Asia Tenggara kepada Negeri Tukang Klaim dan negeri penindas Aborigin. Sebaliknya, Indonesia lebih senang mengambil posisi focal point dalam urusan pemeliharaan perdamaian yang sebenarnya tidak terkait dengan kepentingan nasional Indonesia yang bersifat survival maupun penting.
Baik Negeri Tukang Klaim maupun negeri penindas Aborigin sangat menyadari pentingnya stabilitas dari laut. Ambisi Negeri Tukang Klaim adalah kalau bisa pengendalian Indonesia atas Laut Natuna yang merupakan wilayah teritorial Indonesia dilenyapkan, sehingga tak ada lagi penghalang antara wilayah semenanjung dengan kawasan Sabah-Serawak. Adapun bagi negeri penindas Aborigin, kalau bisa Indonesia hanya mempunyai Angkatan Laut di atas kertas namun di laut tidak mampu menggelar kekuatan. Sebab eksistensi Angkatan Laut Indonesia yang kuat dan tak sekedar di atas kertas merupakan ancaman terhadap kebebasan bernavigasi dari dan menuju Australia.
Oleh karena itu, tak heran bila kedua negara anggota FPDA itu kompak mengusulkan diri untuk menjadi focal point bidang keamanan maritim dalam ADMM+. Masalahnya pula, Jakarta tidak merasa diri kalah soal kegagalan merebut kepemimpinan agenda keamanan maritim. Malah Jakarta lebih bangga mengurus perdamaian dunia. Artinya, Jakarta lebih suka mengurus mengurus halaman orang lain dan menyerahkan urusan halaman sendiri kepada orang lain.
Hal ini mirip dengan kasus Timor Timur 1999. Ketika Indonesia sedang berasyik-masyuk menyalurkan "syahwatnya" terhadap urusan perdamaian dunia di negeri orang, Jakarta tidak merasa kecolongan ketika ada orang lain mengurus perdamaian dunia di Timor Timur. Pola seperti ini sekali lagi mencerminkan bahwa stabilitas dari laut hanya dipahami oleh pihak asing yang luas lautnya lebih kecil daripada Indonesia, sementara Indonesia sendiri justru tak paham apa arti stabilitas dari laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar