All hands,
Kini Cina sangat asertif dalam isu Laut Cina Selatan, di mana seluruh wilayah perairan itu diklaim sebagai miliknya. Termasuk yang diklaim adalah wilayah ZEE Indonesia di utara Kepulauan Natuna. Belajar dari kasus sengketa batas wilayah maritim Cina-Jepang atas Kepulauan Sensaku yang mana Beijing sempat menghentikan ekspor material langka tertentu ke Jepang sebagai reaksi atas tindakan Tokyo yang menahan kapten kapal ikan Cina yang menabrak kapal patrol Japan Coast Guard, Indonesia belum terlambat untuk menyiapkan instrumen menghadapi asertivitas Cina di Laut Cina Selatan.
Guna menyiapkan instrumen kekuatan nasional itu, hal pertama dan utama yang dibutuhkan adalah kesepahaman nasional. Harus ada satu sikap antar berbagai aktor yang memegang masing-masing instrumen kekuatan nasional. Jangan sampai kasusnya sama dengan ketika menghadapi Negeri Tukang Klaim di perairan dekat Pulau Bintan, ketika ada instrumen kekuatan nasional yang tidak berjuang untuk mengamankan kepentingan nasional.
Selanjutnya, instrumen apa yang harus disiapkan? Pertama, instrumen militer. Salah satu bahasa yang dipahami oleh Beijing adalah bahasa militer, sehingga Jakarta harus mampu berbicara dalam bahasa itu terhadap Beijing. Kalau cuma bahasa diplomatik, Beijing tidak paham.
Kedua, instrumen ekonomi. Perdagangan bebas ASEAN-Cina bisa dijadikan salah satu kartu truf guna merespon asertivitas Cina di Laut Cina Selatan. Misalnya, melakukan tindakan proteksionisme keras dengan menghentikan atau menghambat impor komoditas tidak strategis dari Cina, semisal peralatan rumah tangga, mainan anak-anak sampai dengan berbagai jenis komoditas lainnya. Termasuk di dalamnya penghentian impor berbagai jenis buah, toh Cina bukan satu-satunya negara di dunia penghasil buah.
Minimal sekali dua instrumen itu harus dimainkan. Terkait instrumen ekonomi, diharapkan pengambil kebijakan di bidang perdagangan memahami kembali arti kehidupan berbangsa dan bernegara. Singkatnya, pembukaan selebar-lebarnya pintu impor komoditas tidak strategis dan vital bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia.
Lalu timbul pertanyaan, apakah instrumen politik/diplomasi tidak dimainkan? Semestinya instrumen itu bisa dimainkan apabila tujuannya mengacu pada pengamanan kepentingan nasional, bukan menciptakan perdamaian dunia. Selama diplomat Dunhill masih menjadikan perdamaian dunia sebagai kepentingan nasional tertinggi, selama itu pula sulit untuk berharap pada peran instrumen politik/diplomasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar