16 Februari 2011

Intelijen Dan Pengambilan Keputusan

All hands,
Dalam dunia pertahanan dan militer, pengambilan keputusan pada tingkat kebijakan, strategis dan taktis harus senantiasa didukung oleh masukan dari komunitas intelijen. Bila tidak, dipastikan keputusan yang diambil "tidak sempurna" dan sangat mungkin akan "berantakan" pada tingkat operasional di lapangan. Namun demikian, sangat disayangkan tidak jarang pada tingkat kebijakan pertahanan pengambilan keputusan belum ditunjang oleh masukan dari komunitas intelijen secara optimal.
Sebagai contoh, seberapa besar kontribusi komunitas intelijen dalam penyusunan kebijakan-kebijakan strategis yang terkait dengan pertahanan? Sudah menjadi rahasia umum bahwa Departemen Pertahanan tidak mempunyai satuan kerja intelijen strategis yang berfungsi memberikan asupan dalam proses pengambilan keputusan. Sebaliknya, masukan intelijen masih bertumpu pada Bais yang merupakan lembaga intelijen Angkatan Bersenjata negeri ini. Tentu saja "lahan" Bais berbeda dengan domain bisnis Departemen Pertahanan, sebab user Bais adalah Panglima TNI.
Pada sisi lain, tidak dapat dipungkiri pula terkadang masukan dari komunitas intelijen tidak selaras dengan kebutuhan pengambil kebijakan. Hal seperti ini sudah seringkali terjadi, namun sayangnya belum ada upaya untuk memperbaiki kesenjangan yang terjadi. Keluaran dari semua itu adalah kebijakan yang "tidak membumi".
Inilah satu di antara beberapa tantangan yang dihadapi dalam proses pengambilan keputusan. Pertanyaannya, apakah kondisi ini akan terus dibiarkan? Kalau hendak dibenahi, perlu ada langkah perbaikan. Pada tingkat pengambil keputusan, hendaknya lebih mengoptimalkan peran intelijen dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Sedangkan pada komunitas intelijen sendiri, perlu mengubah paradigma menjadi outward looking sehingga tidak terkontaminasi dengan penitikberatan pada tugas pengamanan yang sesungguhnya bersifat internal, sebab bagi sebagian pihak ada perbedaan signifikan antara komunitas intelijen dengan komunitas pengamanan.

3 komentar:

Mitra mengatakan...

Intelijen di Indonesia secara umum masih dibayang-bayangi dengan cap "intel melayu" yang kikuk di lapangan, gertak sana sini, bicara ngawur tanpa dasar dan dicap juga sebagai "tukang culik" dan ahli sulap yang bisa "menghilangkan" orang, juga hal-hal negatif lain yang menjadikan komunitas intelijen tersudut dengan penilaian "intelijen tumpul" dan tidak berperan dalam pengambilan keputusan.
Imej ini harus dilawan dengan kerja keras dan cerdas dari komunitas intelijen dengan meningkatkan kehandalan di bidang humint, sigint, imint, juga kemampuan spionase, sabotase, teror dan kontra disertai dengan visi, misi dan paradigma yang jelas pada tingkat pembinanya. Dilain pihak user juga harus memberi direktif yang jelas kepada komunitas intelijen tentang pencapaian sasarannya agar kinerja komunitas dapat diukur dan dinilai secara obyektif.
Komunitas intelijen sebenarnya adalah kumpulan orang-orang cerdas yang jujur dan bisa dipercaya. Mubazir jika yang ada sekarang tidak dibina dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Salam

Anonim mengatakan...

kerja keras dari komunitas intelijen di bidang humint, sigint, imint, serta kemampuan spionase, sabotase, teror dan kontra tersebut harus mendapat dukungan penuh dari pihak user dengan memberi direktif yang jelas kepada komunitas intelijen tentang pencapaian sasarannya dan yang paling penting adalah DUKUNGAN ANGGARAN yang memadai demi terlaksananya misi, karena fakta di lapangan masih banyak komunitas intelijen yang belum melaksanakan tugas pokoknya, melainkan melakukan kegiatan lain yang bertujuan untuk mencari dukungan dana guna mendukung pelaksanaan tugas pokok yang diembannya, dan tidak menutup kemungkinan kegiatan pencarian dukungan dana tersebut dilakukan dengan cara membuka cover dan mengintimidasi pihak-pihak tertentu, hal semacam inilah yang disebut intel MELAYU..

Mitra mengatakan...

Pada jaman yang telah lalu, pendanaan untuk mendukung suatu misi intelijen sering tidak jelas seiring dengan tidak jelasnya direktif user, dan pada masa itu pula user sering menggunakan ungkapan warisan kolonial Belanda "pokoknya, saya gak mau tau..!!" yang mengandung makna bahwa komunitas intel harus "cari makan sendiri" untuk mendukung tugasnya (ini salah satu "kehebatan yang salah kaprah" dari intel melayu).
Pada perkembangan selanjutnya, kepandaian komunitas di bidang cari makan sendiri ini justru sering dimanfaatkan user untuk mendapatkan dana "non budgeter" dengan berbagai alasan, dan akibat lanjutannya mudah ditebak, kinerja komunitas diukur dan dinilai dari kemampuan mereka menghasilkan dana non budgeter, bukannya diukur dari kemampuan mereka menghasilkan intelijen sebagai bahan pengambilan keputusan!!
Salah kaprah di lapangan ini merupakan warisan turun temurun, dan meskipun profesionalisme sudah didengungkan, prinsip-prinsip akuntabilitas sudah diajarkan, remunerasi sudah dibagikan, tapi sulit menghilangkan kebiasaan "oportunis" kalau tidak diterapkan reward and punishment yang jelas pada semua strata.

Jangan malu mempelajari borok sejarah masa lalu (meskipun tidak nyaman), kalau masih ada kemauan untuk menjadi lebih baik saat ini dan di masa mendatang.
Quo Vadis Intel?

Salam.