23 Januari 2011

Resizing Kekuatan TNI

All hands,
Dinamika lingkungan strategis senantiasa berubah. Situasi ekonomi nasional selalu berubah pula. Sementara kepentingan nasional yang abadi tidak pernah berubah. Kondisi seperti itulah yang dihadapi kekuatan militer setiap negara dalam suatu kurun waktu, termasuk kekuatan militer Indonesia.
Sangat jelas bahwa TNI saat ini tidak menghadapi dunia dalam konfigurasi Perang Dingin. Tidak dapat dibantah pula bahwa ekonomi nasional terkini sangat rawan akan guncangan seiring era globalisasi yang belum ditopang oleh fondasi ekonomi yang kuat, sedangkan faktor ekonomi merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan kekuatan militer dan pertahanan. Dikaitkan dengan kepentingan nasional yang abadi, tak ada pilihan lain bagi instrumen kekuatan nasional ---termasuk TNI--- harus mampu mengamankan itu.
Menghadapi situasi yang demikian, kebijakan resizing kekuatan TNI sangat tepat. Sebab organisasi TNI memang harus berubah menyesuaikan dengan dinamika lingkungan strategis di segala aspek. Yang tidak boleh berubah ada visi TNI sebagai instrumen kekuatan militer Indonesia guna mengamankan kepentingan nasional di mana pun dan kapan pun. Tentu banyak pihak yang bertanya, resizing seperti apa?
Sepengetahuan pribadi saya berdasarkan informasi dari pihak yang berkompeten, resizing berada dalam konteks DSP (istilah di Angkatan Laut negeri ini) atau TOP (terminologi di Angkatan Darat Indonesia). Singkat, DSP/TOP setiap satuan akan ditinjau kembali dengan melihat antara DSP/TOP resmi dengan kenyataan yang ada di lapangan. Misalnya, ada satuan yang DSP-nya 50 personel (semua tingkat kepangkatan), ternyata realisasinya di satuan itu kekuatan ril ada 70 personel. Artinya, ada 20 personel yang tidak masuk dalam DSP.
Sementara di sisi lain, tidak dapat dipungkiri pula bahwa banyak satuan TNI yang DSP/TOP-nya belum terpenuhi. Kelebihan personel dari DSP/TOP suatu satuan teorinya akan disalurkan kepada satuan yang DSP/TOP-nya belum terpenuhi. Secara teoritis demikian, tetapi dalam praktek pasti akan menemukan kendala-kendala yang mungkin lebih bersifat "manusiawi". Seperti personel yang memilih berdinas di satuan yang dekat dengan kampung halamannya atau bahkan di kampung halamannya dengan alasan sebentar lagi akan pensiun, sementara DSP/TOP di satuan itu sebenarnya sudah terpenuhi.
Resizing sebenarnya memiliki kaitan erat dengan tunjangan kinerja alias renumerasi yang dikucurkan pemerintah kepada TNI. Singkatnya, ada benang merah antara renumerasi dengan reformasi birokrasi TNI. Sebab tunjangan kinerja terkait dengan DSP/TOP.
Tak bisa dipungkiri pula bahwa resizing ada yang memahaminya dengan pengurangan personel matra tertentu. Pemahaman demikian boleh-boleh saja, namun perlu dipahami kebijakan resmi soal resizing. Soal bahwa nantinya mungkin ada kelebihan personel setelah dilakukan identifikasi dan pengkajian dengan seksama, menurut hemat saya pengurangan personel bukan pilihan tunggal dan satu-satunya. Masih ada cara lain yang lebih bagus dan cerdas, yaitu membatasi perekrutan personel baru. Katakanlah dalam satu tahun perekrutan ada 3.000 orang, mungkin bisa dibatasi menjadi 2.000 orang sesuai dengan kebutuhan organisasi.

1 komentar:

Mitra mengatakan...

Resizing ini menarik untuk dikaji, namun jangan lupa prinsip pembinaan personel angkatan laut berpedoman pada senjata yang ada (maksudnya jumlah KRI yang harus diawaki). Persoalan timbul karena blue print persenjataan kita masih tambal sulam sehingga timbul istilah alut lama - alut baru - alut lama banget dan alut baru banget, jadi pengawaknya juga harus beradaptasi terus menerus dengan teknologinya dan juga jumlahnya jadi fluktuatif. Ini tantangan buat para "penghitung" kebutuhan personel supaya tidak "inflasi" juga tidak "minus" personel.

Salam.