All hands,
Kesalahan Indonesia dalam menentukan diri menyangkut focal point agenda ADDM+ tidak lepas dari kinerja pihak terkait, khususnya Departemen Pertahanan. Sebab "lelang" focal point agenda ADMM+ di Vietnam pada 2010 dilakukan secara terbuka di mana Indonesia juga turut hadir. Ketika lelang memasuki babak akhir, hanya tinggal agenda yang tersisa yaitu counter-terrorism dan military family. Dalam kondisi itu, pilihan terbaik dari yang terburuk adalah counter-terrorism.
Pertanyaannya, mengapa Indonesia bernasib demikian? Jawabannya tak lain karena perwakilan delegasi Indonesia yang hadir hanya bersikap datang, duduk manis dan kemudian pulang. Apapun pendapat dan pandangan yang disampaikan delegasi pihak terkesan diiyakan saja dan tidak proaktif. Dari sini bisa jadi ada dua kemungkinan mengapa sang perwakilan delegasi menjadi pihak yang pasif dalam pertemuan ADDM+. Pertama, tidak menguasai bahasa asing dan yang kedua, tidak menguasai materi sidang.
Keluaran dari kinerja perwakilan delegasi Indonesia kini dapat dirasakan oleh Indonesia. Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara sekaligus terluas perairannya menyerahkan pengaturan keamanan maritim kepada Negeri Tukang Klaim. Jelas hal ini merupakan kerugian besar bagi Indonesia, khususnya bagi yang paham terhadap kepentingan nasional.
Cerita latar belakang "kekalahan" Indonesia dalam urusan focal point ADMM menggambar betapa penentuan jabatan-jabatan strategis di Departemen Pertahanan belum memiliki suatu standar kompetensi. Tidak lucu bila ada yang membidangi isu kerjasama kawasan justru tak paham dengan agenda-agenda keamanan kawasan. Lebih lucu lagi bila juga tak fasih berbahasa asing.
2 komentar:
nice post
diplomasi kita lemah di admm,maklum diplomat dunhil
Posting Komentar