All hands,
Krisis Libya yang merupakan rangkaian revolusi di Tanah Arab menimbulkan keprihatinan dan perhatian dari banyak negara. Sebab kepentingan asing di Libya ada berbagai macam, mulai dari mengamankan warga negara mereka di negeri itu, pasokan minyak dan gas Libya hingga pada bahan senjata kimia yang dipunyai oleh negeri kelahiran Omar Mokhtar tersebut. Amerika Serikat dan NATO adalah pihak yang berkepentingan besar terhadap krisis di Libya, sehingga mereka bersiap untuk melaksanakan intervensi.
Sudah merupakan hal yang lumrah bila Angkatan Laut menjadi kekuatan utama untuk merespon krisis dan sekali lagi hal itu dipraktekkan pula di Libya. Amerika Serikat merasa perlu untuk menyebarkan satu Gugus Serang Amfibi dan satu Gugus Ekspedisi Serang Kapal Induk ke perairan Laut Tengah. Kondisi demikian menunjukkan bahwa apa yang ditempuh oleh Amerika Serikat bukan lagi diplomasi Angkatan Laut, tetapi sudah mencapai tingkat gunboat diplomacy. Dikategorikan gunboat diplomacy sebab dalam dua gugus tugas yang disebarkan itu telah mengandung unsur suasi aktif.
Kedua gugus tugas tersebut sangat mungkin pula akan menggelar operasi HADR dalam bentuk Non-Combatant Evacuation Operation (NEO). Bahkan lebih jauh, eskalasi konflik di Libya akan mendorong pula penerapan No Fly Zone di Libya sebagaimana dulu diterapkan di Irak. Penegakan No Fly Zone akan lebih efektif bila dilaksanakan dari kapal induk daripada pangkalan di darat, sebab Washington tak memerlukan lagi beragam prosedur diplomatik di negara tuan rumah pangkalan udara Amerika Serikat. Sekaligus memperkecil peluang meningkatnya kebencian terhadap Amerika Serikat di Tanah Arab.
Krisis Libya sekali lagi membuktikan betapa karakter kekuatan laut yang unik menjadikan Angkatan Laut sebagai perespon krisis. Itulah keunggulan Angkatan Laut yang seharusnya juga dieksploitasi seoptimal mungkin di Indonesia sebagai negeri yang dua pertiga wilayahnya adalah lautan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar