All hands,
Minggu lalu di Surabaya telah diadakan pertemuan ADMM di mana Indonesia bertindak sebagai tuan rumah. Dalam ADMM, setelah secara sadar Indonesia tidak mengambil posisi focal point untuk keamanan maritim, Jakarta rupanya lebih memilih agenda counter-terrorism. Bukan seperti dugaannya sebelumnya yaitu peacekeeping operation.
Pemilihan agenda counter-terrorism baik-baik saja. Namun demikian, ada masalah yang menjadi bentangan kesenjangan antara idealisme dengan realitas di lapangan. Dari namanya saja sudah jelas bahwa ADMM adalah forum komunitas pertahanan dengan kekuatan militer sebagai komponen utamanya. Ketika membahas soal counter-terrorism, berarti mengupas tentang peran militer dalam counter-terrorism.
Yang menjadi masalah di Indonesia adalah isu counter-terrorism dimonopoli oleh pihak tertentu saja. Posisi militer dalam counter-terrorism bagaikan menunggu Godot. Nampaknya mustahil pihak tertentu itu akan meminta bantuan militer dalam counter-terrorism, sebab permintaan itu dapat dipersepsikan akan ketidakmampuan institusi sang peminta. Padahal pelaku monopoli itu selama ini sudah berupaya membangun citra bahwa mereka berkompeten dan mampu menghadapi terorisme kapan saja, di mana saja dan seberapa berat pun eskalasinya.
Yang menjadi masalah di Indonesia adalah isu counter-terrorism dimonopoli oleh pihak tertentu saja. Posisi militer dalam counter-terrorism bagaikan menunggu Godot. Nampaknya mustahil pihak tertentu itu akan meminta bantuan militer dalam counter-terrorism, sebab permintaan itu dapat dipersepsikan akan ketidakmampuan institusi sang peminta. Padahal pelaku monopoli itu selama ini sudah berupaya membangun citra bahwa mereka berkompeten dan mampu menghadapi terorisme kapan saja, di mana saja dan seberapa berat pun eskalasinya.
Dengan demikian, kemampuan militer dalam counter-terorism hanya akan teruji dalam latihan-latihan saja. Tetapi sangat sulit untuk teruji dalam situasi sebenarnya. Sebab dalam situasi sebenarnya, militer nampaknya bagaikan menunggu Godot untuk mengharapkan adanya bantuan dari pelaku monopoli penanganan terorisme. Pertanyaannya, apakah idealisme Indonesia dalam ADMM bisa diterapkan di Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar