03 Juni 2008

Common Use of Common Space

All hands,
Waktu di The Shangri-La Dialogue, Menteri Pertahanan Robert Gates bilang, I want to stress that we stand for openness, and against exclusivity, and in favor of common use of common spaces in responsible ways that sustain and drive forward our mutual prosperity.
Apa sih maksudnya? Begini…. yang dimaksud dengan common space oleh Gates itu antara lain adalah laut. Kenapa dia bilang begitu?
Pesan Gates itu sangat terkait dengan isu keamanan maritim di Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka. Bagi negeri dia, nilai Selat Malaka sangat strategis, apalagi dia lagi “berpacu dalam melodi” dengan negeri Mao. Oleh karena itu, Washington menganggap laut (termasuk Selat Malaka) sebagai common space sehingga harus bisa digunakan oleh semua pihak.
Apa wujud upaya Washington jadikan laut sebagai common space? Tentara dunia ini lagi gencar lobi di Dewan Keamanan PBB untuk golkan rancangan resolusi tentang pembajakan. Dalam rancangan itu, soal kedaulatan negara pantai untuk menangani perompakan di laut tak diakui. Malah di situ disebutkan hak kapal perang negara adidaya masuk ke wilayah kedaulatan suatu negara untuk menangani perompakan dan pembajakan, selain diperbolehkannya negara-negara maritim besar menerapkan rezim hukum laut bebas di mana saja.
Kalau kita pelajari rancangan resolusi itu, itu kan sama saja artinya sama ubah UNCLOS 1982. Kita kan sama-sama tahu, dari dulu uwak Sam nggak mau ratifikasi UNCLOS. Soalnya dia berpegang pada freedom of navigation. Dan tiap tahun DOS alias Department of State bikin laporan peringkat negara-negara yang tak akomodatif sama Amerika Serikat soal freedom of navigation.
Indonesia sudah pasti masuk daftar itu. Tapi sudahlah, kita nggak usah pusing. Itu kan subyektifitas dia saja. Sama saja dia bikin laporan kondisi HAM dunia, padahal dia sendiri punya aib besar di Guantanamo. Ha..ha..ha..
Kembali ke soal common use of common spaces itu. Intinya dia ingin pergerakan armada dia di laut nggak dihalang-halangi. Termasuk di perairan yurisdiksi. Itu pesan yang disampaikan Gates di Singapura. Dengan kata lain, kembali kaum realis menang…kekuatan senjata mengalahkan hukum internasional.
Saya sih setuju-setuju saja dengan pandangan itu, karena saya juga golongan realis. Cuma konteksnya harus dalam bingkai kepentingan nasional Indonesia. Artinya, kita akan didengar orang tidak dapat semata-mata mengandalkan soft power seperti ilusi beberapa pihak di negeri ini yang gandrung dengan ide itu. Soft power kan yang bikin Joseph Nye dan dia orang Amerika. Sudah pasti konsep itu berada dalam kerangka kepentingan Amerika Serikat. Dan kenyataannya tampilan soft power itu itu militer.
Di Aceh waktu operasi humanitarian assistance/disaster relief (HADR) 2004, itu soft power uwak Sam. Tapi yang datang itu bukan anggota Peace Corps yang digagas John F. Kennedy, tetapi kekuatan militer. Dari situ jelas bahwa soft power itu tetap aja akan berujung pada hard power.
Sekarang pertanyaannya, apa jawaban Indonesia soal ”permintaan” Gates soal common use of common spaces itu? Apakah kita akan biarkan kapal perang dia lalu lalang di perairan kita? Apakah kita akan biarkan kapal perang dia gelar maritime security operations/MSO di perairan kita? Ataukah kita akan to engage dia...permission to engage?



Tidak ada komentar: