All hands,
Di tengah keterbatasan anggaran pertahanan, kita dituntut untuk bangun postur AL yang membuat pihak lain berpikir untuk main-main dengan kita. Mungkin ada rekan-rekan yang lebih suka gunakan istilah AL yang timbulkan deterrence. Lalu bagaimana caranya?
Untuk kapal-kapal kombatan, menurut saya kita perlu bagi dalam tiga golongan, yaitu (i) fregat dan korvet, (ii) kapal selam dan (iii) KCR/KCT. Kalau kemampuan dan keunggulan masing-masing kapal itu bisa kita eksploitasi maksimal, saya yakin AL kita akan kembali diperhitungkan orang di kawasan Asia Pasifik, minimal di Asia Tenggara.
Kita tetap butuh fregat dan korvet untuk kepentingan patroli di Laut Arafuru, Samudera Pasifik utara Irian, Laut Sulawesi dan beberapa perairan lainnya yang berhadapan dengan laut lepas. Kapal itu juga akan sangat bermanfaat bagi pelaksanaan peran diplomasi AL. Kan nggak lucu diplomasi AL pake kapal fiberglass. Ha..ha..ha..
Soal kapal selam, kita jelas sangat butuh. Nilai strategisnya kuat sekali. Waktu operasi di Timor Timur menjelang masuknya Interfet pimpinan om Kangguru, kapal selam kita jadi buruan utama kapal atas air dan heli AKS Australia dan sekutunya. Bahkan kasus itu dijadikan salah satu contoh betapa energi Royal Australian Navy (RAN) sebagian dihabiskan untuk AKS waktu itu dalam bukunya Geoffrey Till Sea Power: A Guide to the 21st Century.
Kapal cepat roket (KCR) dan kapal cepat torpedo (KCT) akan sangat berguna di chokepoints dan perairan dangkal lainnya, misalnya di wilayah barat. Untuk tenggelamkan fregat La Fayette-nya Singapura atau korvet kelas Kedah-nya Malaysia, sangat mungkin. Kombinasi KCR dengan KCT merupakan senjata yang ampuh. Mungkin rudal yang diluncurkan KCR bisa dia tangkis pake senjata close in weapon system/CIWS atau peperangan elektronika/pernika, tapi dijamin tidak dengan serangan torpedo KCT.
Sampai saat ini, belum ditemukan teknologi yang bisa ”jamming” torpedo. Torpedo masih tetap senjata ampuh yang ditakuti AL mana pun di dunia. Nggak aneh bila Rusia kembangkan torpedo yang dikombinasikan dengan roket.
So...dari tiga golongan kapal kombatan itu, perlu kita bagi jumlahnya untuk masing-masing. Fregat dan korvet menurut saya tidak perlu banyak-banyak, 6-10 sudah cukup. Yang penting teknologinya mutakhir dan siap operasi. Untuk kapal selam, mungkin kita butuh 4 saja. Sama dengan fregat dan korvet, teknologinya harus mutakhir dan siap operasi.
Nah...yang perlu diperbanyak itu KCR dan KCT. Dari segi biaya, KCR dan KCT jelas lebih murah daripada fregat, korvet dan kapal selam. Apalagi PAL sudah bisa bikin platformnya dan di masa lalu pernah bikin KCT. Dan sekarang AL kita sedang modifikasi FPB-57 yang awalnya untuk patroli menjadi KCR.
Itu langkah yang bagus. Dan akan lebih bagus lagi bila ada kontrak baru pengadaan FPB-57 KCR. Setelah FPB-57 Nav 5 selesai (KRI Lemadang cs), belum ada lagi kontrak FPB baru. Konon kabarnya kita mau yang FPB-60.
Pada dasarnya nggak ada masalah, yang penting kapal itu platformnya harus cocok untuk jadi KCR dan KCT. Bahkan kalau kita lihat di Jerman, FPB buatan Lurssen itu jenis KCR. FPB Lurssen kan yang jadi dasar FPB-57, PAL kan beli lisensinya.
Daripada bikin korvet nasional yang nggak jelas itu, lebih bagus PAL kembangkan FPB untuk KCR. Dalam hal ini, tentu Departemen Pertahanan harus bikin kontrak baru bagi pengadaan itu. Biar usaha PAL nggak sia-sia, coba konsep dan prototipe tapi nggak ada yang minat beli.
Di tengah keterbatasan anggaran pertahanan, kita dituntut untuk bangun postur AL yang membuat pihak lain berpikir untuk main-main dengan kita. Mungkin ada rekan-rekan yang lebih suka gunakan istilah AL yang timbulkan deterrence. Lalu bagaimana caranya?
Untuk kapal-kapal kombatan, menurut saya kita perlu bagi dalam tiga golongan, yaitu (i) fregat dan korvet, (ii) kapal selam dan (iii) KCR/KCT. Kalau kemampuan dan keunggulan masing-masing kapal itu bisa kita eksploitasi maksimal, saya yakin AL kita akan kembali diperhitungkan orang di kawasan Asia Pasifik, minimal di Asia Tenggara.
Kita tetap butuh fregat dan korvet untuk kepentingan patroli di Laut Arafuru, Samudera Pasifik utara Irian, Laut Sulawesi dan beberapa perairan lainnya yang berhadapan dengan laut lepas. Kapal itu juga akan sangat bermanfaat bagi pelaksanaan peran diplomasi AL. Kan nggak lucu diplomasi AL pake kapal fiberglass. Ha..ha..ha..
Soal kapal selam, kita jelas sangat butuh. Nilai strategisnya kuat sekali. Waktu operasi di Timor Timur menjelang masuknya Interfet pimpinan om Kangguru, kapal selam kita jadi buruan utama kapal atas air dan heli AKS Australia dan sekutunya. Bahkan kasus itu dijadikan salah satu contoh betapa energi Royal Australian Navy (RAN) sebagian dihabiskan untuk AKS waktu itu dalam bukunya Geoffrey Till Sea Power: A Guide to the 21st Century.
Kapal cepat roket (KCR) dan kapal cepat torpedo (KCT) akan sangat berguna di chokepoints dan perairan dangkal lainnya, misalnya di wilayah barat. Untuk tenggelamkan fregat La Fayette-nya Singapura atau korvet kelas Kedah-nya Malaysia, sangat mungkin. Kombinasi KCR dengan KCT merupakan senjata yang ampuh. Mungkin rudal yang diluncurkan KCR bisa dia tangkis pake senjata close in weapon system/CIWS atau peperangan elektronika/pernika, tapi dijamin tidak dengan serangan torpedo KCT.
Sampai saat ini, belum ditemukan teknologi yang bisa ”jamming” torpedo. Torpedo masih tetap senjata ampuh yang ditakuti AL mana pun di dunia. Nggak aneh bila Rusia kembangkan torpedo yang dikombinasikan dengan roket.
So...dari tiga golongan kapal kombatan itu, perlu kita bagi jumlahnya untuk masing-masing. Fregat dan korvet menurut saya tidak perlu banyak-banyak, 6-10 sudah cukup. Yang penting teknologinya mutakhir dan siap operasi. Untuk kapal selam, mungkin kita butuh 4 saja. Sama dengan fregat dan korvet, teknologinya harus mutakhir dan siap operasi.
Nah...yang perlu diperbanyak itu KCR dan KCT. Dari segi biaya, KCR dan KCT jelas lebih murah daripada fregat, korvet dan kapal selam. Apalagi PAL sudah bisa bikin platformnya dan di masa lalu pernah bikin KCT. Dan sekarang AL kita sedang modifikasi FPB-57 yang awalnya untuk patroli menjadi KCR.
Itu langkah yang bagus. Dan akan lebih bagus lagi bila ada kontrak baru pengadaan FPB-57 KCR. Setelah FPB-57 Nav 5 selesai (KRI Lemadang cs), belum ada lagi kontrak FPB baru. Konon kabarnya kita mau yang FPB-60.
Pada dasarnya nggak ada masalah, yang penting kapal itu platformnya harus cocok untuk jadi KCR dan KCT. Bahkan kalau kita lihat di Jerman, FPB buatan Lurssen itu jenis KCR. FPB Lurssen kan yang jadi dasar FPB-57, PAL kan beli lisensinya.
Daripada bikin korvet nasional yang nggak jelas itu, lebih bagus PAL kembangkan FPB untuk KCR. Dalam hal ini, tentu Departemen Pertahanan harus bikin kontrak baru bagi pengadaan itu. Biar usaha PAL nggak sia-sia, coba konsep dan prototipe tapi nggak ada yang minat beli.
1 komentar:
Bahwasanya utk menghadapi TPO lawan kita mengenal istilah TCM (TPO Counter Measure) bisa menggunakan bantuan alat/sistem lain (fanfare,dsb) atau menggunakan kemampuan kapal dalam bermanuvra utk laksanakan aksi penghindara.
Posting Komentar