All hands,
Sejak 1915, antara U.S. Army dengan U.S. Navy terjadi perbedaan pandangan strategis soal bagaimana mempertahankan Filipina bila diserang Jepang. U.S. Army berpendapat bahwa solusinya adalah membentuk jaringan benteng di kepulauan itu dan mengisinya dengan jumlah personel AD yang cukup agar Jepang tak dapat mendudukinya. Pada pertengahan 1930-an, para perencana militer Amerika Serikat mengakui bahwa Filipina mungkin (probably) tidak dapat dipertahankan.
Tahun 1935, Kongres memutuskan memberikan kemerdekaan kepada kepulauan itu agar tidak dijadikan dalih perang oleh Jepang. Pada saat dimulainya Perang Pasifik, Panglima AD Filipina Jenderal Douglas MacArthur menjalankan strategi yang berbasis dari pemikiran bahwa Filipina dapat dan harus dipertahankan dengan segala biaya. MacArthur diangkat oleh Presiden Filipina jadi Panglima AD Filipina dengan seijin Presiden Roosevelt, setelah sebelumnya sang Jenderal dicopot dari jabatan Chief of Staff of the Army.
U.S. Navy mempunyai posisi yang berbeda dengan U.S. Army. Sejak awal 1915, U.S. Navy General Board berkesimpulan bahwa Filipina tidak dapat dipertahankan. Walaupun diberikan kemerdekaan, kepulauan itu tetap merupakan tanggung jawab Amerika Serikat dan mereka dapat menuntut perlindungan sang induk meskipun sudah merdeka. Oleh karena itu, dari sudut pandangan U.S. Navy, Jepang harus dikalahkan bila pecah perang di Pasifik.
Dengan mengalahkan Jepang sebagai ends perang, maka means-nya dapat ditanyakan. Mustahil bagi Amerika Serikat untuk membangun suatu kekuatan AD yang besar untuk menduduki Jepang. Dengan ketergantungan Jepang pada impor bahan baku, maka blokade AL dapat meruntuhkannya. Untuk menghadapi kemungkinan itu, Jepang sangat bergantung pada kekuatan AL-nya. Sehingga masalahnya menjadi bagaimana memproyeksikan kekuatan armada Amerika Serikat ke Pasifik Barat untuk mengalahkan Jepang dalam suatu decisive battle.
Dari kasus itu dapat diambil kesimpulan bahwa army concentrated, as armies do, on the occupation of particular territory as the goal in war. At sea there is no territory. Areas of sea cannot be occupied. Naval warfare is about the destruction of enemy forces as a prerequisite to mobile operations.
Kasus perbedaan pendapat antara U.S. Army dengan U.S. Navy soal mempertahankan Filipina menurut saya dapat kita bawa ke kondisi kekinian di Indonesia. Bagaimanakah kita mempertahankan Nusantara bila menghadapi serangan dari luar? Serangan dari luar itu tidak mesti invasi dan kemungkinan itu menurut pandangan saya memang kecil. Namun serangan yang dilakukan lebih pada surgical strike terhadap sasaran tertentu yang menyangkut center of gravity Indonesia.
Bagaimana pandangan AD dengan AL soal itu? Bagaimana pula dengan AU? Ini bukan soal adu domba atau persaingan kekuatan matra, namun murni pada urusan strategi. Memperhatikan pola surgical strike, serangan biasanya dilakukan menggunakan kapal perang dan pesawat pembom. Katakanlah sasarannya Jakarta sebagai center of gravity Indonesia.
Strategi pertahanan seperti apa yang akan kita terapkan? Pendekatan strategi menyatakan bahwa kita dituntut mampu untuk menghadapi kapal perang yang melancarkan surgical strike, dengan asumsi bahwa dia melancarkan serangan dari perairan kita. Ceritanya akan menjadi lain bila serangan dilancarkan dari laut lepas, karena alutsista kita yang mampu beroperasi penuh di laut lepas sangat terbatas.
Mengapa dari perairan kita? Mereka kan dapat menggunakan hak lintas damai atau lintas ALKI sambil ganggu kita. Jadi di sini asumsi strategi pertahanan berlapis dengan zona penyangga tidak berlaku. Kita harus ingat bahwa negara maju seperti Amerika Serikat mengembangkan littoral warfare. Mayoritas kota-kota penting di dunia berada dalam jarak 200 km dari pantai.
Di Indonesia, di Pulau Jawa saja kota penting yang “agak” jauh dari pantai cuma Bandung. Itu pun tidak ada jaminan rudal jelajah yang diluncurkan dari kapal perang tidak akan sampai ke kota yang juga identik dengan “pusatnya” AD itu. Kalau Jakarta, untuk menghantamnya tak perlu pakai rudal jelajah, tapi cukup dengan meriam 5 in/54 Mk 45 yang melengkapi kapal-kapal kombatan atas air U.S. Navy. Dengan menggunakan munisi ERGM (Extended Range Guided Munition), meriam itu bisa tembakkan peluru hingga jarak 140 km.
Dengan realita seperti itu, strategi pertahanan kita mau atau tidak mau, suka atua tidak suka, harus lebih bergaya maritim daripada bergaya kontinental. Perubahan gaya konsekuensinya juga harus berupa perubahan prioritas bangkuat postur. Kita harus membangun strategi anti akses (anti access strategy). Kecuali kalau kita tetap mau terus dilecehkan oleh bangsa lain. Pertanyaannya, apakah postur pertahanan 2010-2029 sudah mengarah ke situ?
Sejak 1915, antara U.S. Army dengan U.S. Navy terjadi perbedaan pandangan strategis soal bagaimana mempertahankan Filipina bila diserang Jepang. U.S. Army berpendapat bahwa solusinya adalah membentuk jaringan benteng di kepulauan itu dan mengisinya dengan jumlah personel AD yang cukup agar Jepang tak dapat mendudukinya. Pada pertengahan 1930-an, para perencana militer Amerika Serikat mengakui bahwa Filipina mungkin (probably) tidak dapat dipertahankan.
Tahun 1935, Kongres memutuskan memberikan kemerdekaan kepada kepulauan itu agar tidak dijadikan dalih perang oleh Jepang. Pada saat dimulainya Perang Pasifik, Panglima AD Filipina Jenderal Douglas MacArthur menjalankan strategi yang berbasis dari pemikiran bahwa Filipina dapat dan harus dipertahankan dengan segala biaya. MacArthur diangkat oleh Presiden Filipina jadi Panglima AD Filipina dengan seijin Presiden Roosevelt, setelah sebelumnya sang Jenderal dicopot dari jabatan Chief of Staff of the Army.
U.S. Navy mempunyai posisi yang berbeda dengan U.S. Army. Sejak awal 1915, U.S. Navy General Board berkesimpulan bahwa Filipina tidak dapat dipertahankan. Walaupun diberikan kemerdekaan, kepulauan itu tetap merupakan tanggung jawab Amerika Serikat dan mereka dapat menuntut perlindungan sang induk meskipun sudah merdeka. Oleh karena itu, dari sudut pandangan U.S. Navy, Jepang harus dikalahkan bila pecah perang di Pasifik.
Dengan mengalahkan Jepang sebagai ends perang, maka means-nya dapat ditanyakan. Mustahil bagi Amerika Serikat untuk membangun suatu kekuatan AD yang besar untuk menduduki Jepang. Dengan ketergantungan Jepang pada impor bahan baku, maka blokade AL dapat meruntuhkannya. Untuk menghadapi kemungkinan itu, Jepang sangat bergantung pada kekuatan AL-nya. Sehingga masalahnya menjadi bagaimana memproyeksikan kekuatan armada Amerika Serikat ke Pasifik Barat untuk mengalahkan Jepang dalam suatu decisive battle.
Dari kasus itu dapat diambil kesimpulan bahwa army concentrated, as armies do, on the occupation of particular territory as the goal in war. At sea there is no territory. Areas of sea cannot be occupied. Naval warfare is about the destruction of enemy forces as a prerequisite to mobile operations.
Kasus perbedaan pendapat antara U.S. Army dengan U.S. Navy soal mempertahankan Filipina menurut saya dapat kita bawa ke kondisi kekinian di Indonesia. Bagaimanakah kita mempertahankan Nusantara bila menghadapi serangan dari luar? Serangan dari luar itu tidak mesti invasi dan kemungkinan itu menurut pandangan saya memang kecil. Namun serangan yang dilakukan lebih pada surgical strike terhadap sasaran tertentu yang menyangkut center of gravity Indonesia.
Bagaimana pandangan AD dengan AL soal itu? Bagaimana pula dengan AU? Ini bukan soal adu domba atau persaingan kekuatan matra, namun murni pada urusan strategi. Memperhatikan pola surgical strike, serangan biasanya dilakukan menggunakan kapal perang dan pesawat pembom. Katakanlah sasarannya Jakarta sebagai center of gravity Indonesia.
Strategi pertahanan seperti apa yang akan kita terapkan? Pendekatan strategi menyatakan bahwa kita dituntut mampu untuk menghadapi kapal perang yang melancarkan surgical strike, dengan asumsi bahwa dia melancarkan serangan dari perairan kita. Ceritanya akan menjadi lain bila serangan dilancarkan dari laut lepas, karena alutsista kita yang mampu beroperasi penuh di laut lepas sangat terbatas.
Mengapa dari perairan kita? Mereka kan dapat menggunakan hak lintas damai atau lintas ALKI sambil ganggu kita. Jadi di sini asumsi strategi pertahanan berlapis dengan zona penyangga tidak berlaku. Kita harus ingat bahwa negara maju seperti Amerika Serikat mengembangkan littoral warfare. Mayoritas kota-kota penting di dunia berada dalam jarak 200 km dari pantai.
Di Indonesia, di Pulau Jawa saja kota penting yang “agak” jauh dari pantai cuma Bandung. Itu pun tidak ada jaminan rudal jelajah yang diluncurkan dari kapal perang tidak akan sampai ke kota yang juga identik dengan “pusatnya” AD itu. Kalau Jakarta, untuk menghantamnya tak perlu pakai rudal jelajah, tapi cukup dengan meriam 5 in/54 Mk 45 yang melengkapi kapal-kapal kombatan atas air U.S. Navy. Dengan menggunakan munisi ERGM (Extended Range Guided Munition), meriam itu bisa tembakkan peluru hingga jarak 140 km.
Dengan realita seperti itu, strategi pertahanan kita mau atau tidak mau, suka atua tidak suka, harus lebih bergaya maritim daripada bergaya kontinental. Perubahan gaya konsekuensinya juga harus berupa perubahan prioritas bangkuat postur. Kita harus membangun strategi anti akses (anti access strategy). Kecuali kalau kita tetap mau terus dilecehkan oleh bangsa lain. Pertanyaannya, apakah postur pertahanan 2010-2029 sudah mengarah ke situ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar