All hands,
Apa yang pernah saya kritisi tahun 2004 silam dan sampai membuat saya nggak disenangi oleh “pihak tertentu” di domain AL, rupanya kini telah menjadi kesadaran bersama. Utamanya dari rekan-rekan/senior yang berada pada middle level. Yaitu soal naval warfare vs keamanan laut (kamla). Bila beberapa tahun lalu sulit membayangkan “keluhan” soal mendominasinya kamla daripada naval warfare akan termuat secara tertulis dalam dokumen dan disampaikan pada forum resmi, kini hal itu sudah terjadi.
Bagi saya itu kejutan, karena ketika tahun 2004 saya mengkritisi itu, ada “pihak tertentu” yang langsung “sakit gigi”. Sejujurnya, saya mengkritisi itu juga karena dorongan seorang rekan yang sangat concern dengan AL kita (nggak perlu sebut nama-lah). Dalam hal ini, saya sama sekali tidak merasa besar kepala soal kritik terhadap kamla, karena juga banyak rekan-rekan/senior lain yang lakukan hal serupa dengan cara lain saat itu. Sekarang situasi sudah berubah, sehingga rekan-rekan/senior berani sampaikan kritik itu dalam forum resmi tanpa harus khawatir ada yang “sakit gigi”.
Soal naval warfare vs kamla, ada baiknya kita melihat kembali apa tugas pokok AL dan apa peran AL. Tugas pokok AL yah berperang di laut alias tugas pertahanan. Itu tercantum jelas, tegas dan terang dalam Pasal 9 (a) Undang-undang No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Tugas di bidang pertahanan itu nomor satu. Sedangkan peran AL adalah militer, diplomasi dan konstabulari.
Artinya, tugas pokok maupun peran AL yang nomor satu itu adalah di bidang militer, berperang. Tugas-tugas dan peran lain sifatnya mengikuti saja yang nomor satu. AL ada untuk disiapkan berperang di laut. Titik!!!
Jadi, menurut saya ke depan salah satu prioritas kita adalah pulihkan kembali kemampuan dan keterampilan di bidang naval warfare. Karena suka atau tidak suka kita harus akui bahwa tugas kamla selama puluhan tahun secara tidak langsung timbulkan erosi pada kemampuan dan keterampilan kita di bidang naval warfare. Betul bahwa tiap tahun kita gelar AJ/Armada Jaya sebagai latihan puncak AL, tapi masalahnya dalam keseharian lebih dari 90 persen operasi kita selama ini adalah opskamla. Akibatnya, nggak aneh bila beberapa senior pelaut mengeluh bahwa ada junior mereka yang tak hafal di luar kepala sebagian materi naval warfare.
Yang lebih celaka lagi, mulai ada ketergantungan kita terhadap GPS yang diikuti dengan penurunan keterampilan operasikan kompas. Padahal GPS itu kan satelitnya punya pihak lain, yang selain keakuratannya diragukan, juga dapat sewaktu-waktu dimatikan. Keakuratan yang kurang itu sebab GPS komersial presisinya dibedakan dengan GPS militer yang dipakai oleh militer Amerika Serikat.
Kalo GPS dimatikan, kita masih punya kompas sebagai alat bantu navigasi. Tapi kalau sampe nggak bisa operasikan kompas secara terampil, yah keterlaluan!!! Navigasi itu kan ilmu dasar buat pelaut. Gimana mau berlayar kalau nggak tahu arah.
Kemampuan dan keterampilan di bidang naval warfare harus kita pulihkan kembali. Konsekuensinya adalah kita harus mulai seimbangkan antara opskamla dengan opspurla/operasi tempur laut. Selama ini memang ada opspurla, tapi kok kebanyakan opskamla juga materinya, cuma beda nama aja.
Guspurla dalam tugas-tugasnya juga mayoritas kamla. Hanya dalam kesempatan tertentu murni purla, seperti di Ambalat misalnya. Upaya untuk seimbangkan antara naval warfare dengan kamla didukung oleh situasi yang kondusif, sebab sebentar lagi akan ada Coast Guard.
Dengan adanya Coast Guard, sebagian beban konstabulari dapat diback up oleh lembaga itu. Tapi jangan dipahami bahwa dengan itu maka peran konstabulari AL hilang. Nggak seperti itu!!! Peran konstabulari akan terus melekat pada AL, ada atau nggak ada Coast Guard.
Cara lain untuk seimbangkan naval warfare dengan kamla adalah kembalikan kapal perang pada fungsi asasinya. Jadi kalau kapal perang fungsi asasinya buru ranjau atau angkut pasukan, yah jangan difungsikan lagi untuk konstabulari. Begitu juga kapal kelas fregat dan korvet, fungsi asasinya kan bukan buat itu. Yang fungsi asasinya untuk opskamla kan yang jenis FPB itu, selain PC seperti KRI Sibarau, KRI Siliman, KRI Silea cs.
Cuma masalahnya buat fregat dan korvet, ketika kita beli dulu tidak ditegaskan secara tegas apa fungsi asasinya. Maunya kita semua kapal jenis itu bisa lakukan peperangan atas air, bawah air dan anti serangan udara sekaligus. Itu yang susah, karena ada keterbatasan platform juga.
So...tantangan ke depan buat kita adalah wujudkan keluhan soal naval warfare vs kamla dalam bentuk perubahan. Tentu bukan sesuatu yang elok bila kita hanya bisa mengeluh.
Apa yang pernah saya kritisi tahun 2004 silam dan sampai membuat saya nggak disenangi oleh “pihak tertentu” di domain AL, rupanya kini telah menjadi kesadaran bersama. Utamanya dari rekan-rekan/senior yang berada pada middle level. Yaitu soal naval warfare vs keamanan laut (kamla). Bila beberapa tahun lalu sulit membayangkan “keluhan” soal mendominasinya kamla daripada naval warfare akan termuat secara tertulis dalam dokumen dan disampaikan pada forum resmi, kini hal itu sudah terjadi.
Bagi saya itu kejutan, karena ketika tahun 2004 saya mengkritisi itu, ada “pihak tertentu” yang langsung “sakit gigi”. Sejujurnya, saya mengkritisi itu juga karena dorongan seorang rekan yang sangat concern dengan AL kita (nggak perlu sebut nama-lah). Dalam hal ini, saya sama sekali tidak merasa besar kepala soal kritik terhadap kamla, karena juga banyak rekan-rekan/senior lain yang lakukan hal serupa dengan cara lain saat itu. Sekarang situasi sudah berubah, sehingga rekan-rekan/senior berani sampaikan kritik itu dalam forum resmi tanpa harus khawatir ada yang “sakit gigi”.
Soal naval warfare vs kamla, ada baiknya kita melihat kembali apa tugas pokok AL dan apa peran AL. Tugas pokok AL yah berperang di laut alias tugas pertahanan. Itu tercantum jelas, tegas dan terang dalam Pasal 9 (a) Undang-undang No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Tugas di bidang pertahanan itu nomor satu. Sedangkan peran AL adalah militer, diplomasi dan konstabulari.
Artinya, tugas pokok maupun peran AL yang nomor satu itu adalah di bidang militer, berperang. Tugas-tugas dan peran lain sifatnya mengikuti saja yang nomor satu. AL ada untuk disiapkan berperang di laut. Titik!!!
Jadi, menurut saya ke depan salah satu prioritas kita adalah pulihkan kembali kemampuan dan keterampilan di bidang naval warfare. Karena suka atau tidak suka kita harus akui bahwa tugas kamla selama puluhan tahun secara tidak langsung timbulkan erosi pada kemampuan dan keterampilan kita di bidang naval warfare. Betul bahwa tiap tahun kita gelar AJ/Armada Jaya sebagai latihan puncak AL, tapi masalahnya dalam keseharian lebih dari 90 persen operasi kita selama ini adalah opskamla. Akibatnya, nggak aneh bila beberapa senior pelaut mengeluh bahwa ada junior mereka yang tak hafal di luar kepala sebagian materi naval warfare.
Yang lebih celaka lagi, mulai ada ketergantungan kita terhadap GPS yang diikuti dengan penurunan keterampilan operasikan kompas. Padahal GPS itu kan satelitnya punya pihak lain, yang selain keakuratannya diragukan, juga dapat sewaktu-waktu dimatikan. Keakuratan yang kurang itu sebab GPS komersial presisinya dibedakan dengan GPS militer yang dipakai oleh militer Amerika Serikat.
Kalo GPS dimatikan, kita masih punya kompas sebagai alat bantu navigasi. Tapi kalau sampe nggak bisa operasikan kompas secara terampil, yah keterlaluan!!! Navigasi itu kan ilmu dasar buat pelaut. Gimana mau berlayar kalau nggak tahu arah.
Kemampuan dan keterampilan di bidang naval warfare harus kita pulihkan kembali. Konsekuensinya adalah kita harus mulai seimbangkan antara opskamla dengan opspurla/operasi tempur laut. Selama ini memang ada opspurla, tapi kok kebanyakan opskamla juga materinya, cuma beda nama aja.
Guspurla dalam tugas-tugasnya juga mayoritas kamla. Hanya dalam kesempatan tertentu murni purla, seperti di Ambalat misalnya. Upaya untuk seimbangkan antara naval warfare dengan kamla didukung oleh situasi yang kondusif, sebab sebentar lagi akan ada Coast Guard.
Dengan adanya Coast Guard, sebagian beban konstabulari dapat diback up oleh lembaga itu. Tapi jangan dipahami bahwa dengan itu maka peran konstabulari AL hilang. Nggak seperti itu!!! Peran konstabulari akan terus melekat pada AL, ada atau nggak ada Coast Guard.
Cara lain untuk seimbangkan naval warfare dengan kamla adalah kembalikan kapal perang pada fungsi asasinya. Jadi kalau kapal perang fungsi asasinya buru ranjau atau angkut pasukan, yah jangan difungsikan lagi untuk konstabulari. Begitu juga kapal kelas fregat dan korvet, fungsi asasinya kan bukan buat itu. Yang fungsi asasinya untuk opskamla kan yang jenis FPB itu, selain PC seperti KRI Sibarau, KRI Siliman, KRI Silea cs.
Cuma masalahnya buat fregat dan korvet, ketika kita beli dulu tidak ditegaskan secara tegas apa fungsi asasinya. Maunya kita semua kapal jenis itu bisa lakukan peperangan atas air, bawah air dan anti serangan udara sekaligus. Itu yang susah, karena ada keterbatasan platform juga.
So...tantangan ke depan buat kita adalah wujudkan keluhan soal naval warfare vs kamla dalam bentuk perubahan. Tentu bukan sesuatu yang elok bila kita hanya bisa mengeluh.
1 komentar:
saya jadi ingat ketika data GPS tidak masuk ke dalam Radar Navigasi, banyak rekan pelaut yang mencak2.. padahal pelaut sejati cukup menggunakan matahari, bulan, dan bintang untuk bernavigasi.. tidak ada salahnya back to basic jika kondisi mengharuskan demikian
Posting Komentar