All hands,
Sudah menjadi pengetahuan kita bahwa kekuatan laut negara-negara maju memperhitungkan strategi anti akses sebagai salah satu tantangan yang mereka hadapi kini dan ke depan. Strategi anti akses merupakan salah satu bentuk naval asymmetric warfare yang dikembangkan oleh AL beberapa negara berkembang menghadapi kemungkinan engagement dengan kekuatan laut negara-negara maju.
Indonesia yang mempunyai selat-selat strategis dan focal points/chokepoints, sangat diperhitungkan oleh AL negara-negara maju sebagai tempat yang ideal untuk mengeksploitasi strategi anti akses. Di antara alutsista yang dipandang mempunyai daya pukul mematikan untuk strategi itu adalah kapal selam diesel elektrik.
Para pendahulu kita di AL sudah dari awal menyadari nilai strategis kapal selam sebagai kekuatan deterrence sekaligus pemukul. Nggak heran bila kita langsung mengoperasikan 12 kapal selam awal 1960-an, padahal sebelum itu kita nggak punya pengalaman operasional senjata itu sama sekali. Setelah kapal selam kelas Whiskey pensiun total pada awal 1980-an, eksistensinya digantikan oleh dua kapal selam kelas U-209 dari Jerman.
Pada 1996 kita berupaya membeli beberapa buah kapal selam kelas U-205 untuk melengkapi U-209/1300. Namun karena krisis ekonomi, rencana itu dibatalkan. Kelas U-205 merupakan kapal selam pantai, mampu beroperasi di perairan dangkal. Itu yang membedakannya dengan U-209 yang merupakan kapal selam ocean going.
Sejak beberapa tahun terakhir, di dalam AL kita muncul kembali wacana agar kita mengoperasikan juga kapal selam mini atau midget submarine. Seingat saya, pada pertengahan 1990-an ketika AL dipimpin oleh Laksamana Arief Kushariadi, sempat dikaji kemungkinan pengoperasian midget submarine. Antara lain dengan mengirimkan tim peninjau ke Pakistan yang dinilai berpengalaman mengoperasikan alutsista jenis itu.
Saat ini sepertinya ada arah untuk mengembangkan midget submarine secara mandiri. Ada beberapa pihak yang mengusulkan kepada AL untuk membantu pengembangan midget submarine itu. Bahkan, dulu salah seorang petinggi AL pernah melawat ke sebuah negara yang aktif mengembangkan midget submarine sebagai bagian dari strategi pertahanan nasionalnya, untuk menjajaki pengadaan alutsista itu di Indonesia.
Lepas dari semua itu, merupakan suatu keharusan bagi kita untuk mengeksploitasi peperangan kapal selam. Kita tidak perlu mempertentangkan antara kapal selam ”ukuran normal” dengan midget submarine, karena kita butuh dua-duanya. Artinya, cepat atau lambat kita harus segera tentukan pengganti U-209/1300.
Memperhatikan dinamika bahwa pengembangan kekuatan kapal selam kita akan selalu menghadapi tantangan dari invisible hands, ada baiknya bila berupaya untuk mengembangkan midget submarine secara mandiri. Memang akan ada proses trial and error, namun proses itu merupakan keharusan untuk mengetahui kekurangan dari produk kita. Tinggal yang perlu diatur lebih lanjut adalah bagaimana pendanaan program itu.
Sedangkan untuk kapal selam ”ukuran normal”, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita masih harus tergantung pada negara-negara Eropa, entah itu Jerman, Prancis atau Rusia. Tinggal kita hitung mana yang resiko politiknya lebih rendah bila kita beli kapal selam dari mereka. Resiko politik mempunyai kaitan langsung dengan dukungan logistik secara berkelanjutan.
Pertimbangan politik dalam pengadaan alutsista lebih mendominasi daripada pertimbangan teknis. Itu wajar saja, karena teknologi alutsista mempunyai keterkaitan langsung dengan unsur politik. Tinggal kita yang harus pandai-pandai “menakar” keduanya, agar setidaknya pertimbangan politik tidak terlalu banyak mengorbankan pertimbangan teknis.
Kata kuncinya adalah kita harus kembangkan kemampuan anti akses, salah satunya melalui eksploitasi kapal selam. Dengan catatan bahwa eksploitasi itu harus diimbangi pula dengan peningkatan kemampuan kita dalam mendeteksi pergerakan kapal selam di bawah air.
Sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa mendeteksi pergerakan kapal selam merupakan suatu hal yang tidak mudah. Tidak gampang buat seorang pelaut untuk menjadi spesialis sonar. Dia dituntut untuk mampu membedakan suatu ratusan atau ribuan ikan dengan suara kapal selam.
Oleh sebab itu, riset akustik harus dikembangkan lebih lanjut dan ini sebagian domainnya berada di luar domain AL. Artinya, pengembangan strategi anti akses oleh AL harus didukung pula oleh komponen-komponen terkait di luar AL. Pertanyaannya, sepakatkah kita untuk mengembangkan strategi anti akses?
Sudah menjadi pengetahuan kita bahwa kekuatan laut negara-negara maju memperhitungkan strategi anti akses sebagai salah satu tantangan yang mereka hadapi kini dan ke depan. Strategi anti akses merupakan salah satu bentuk naval asymmetric warfare yang dikembangkan oleh AL beberapa negara berkembang menghadapi kemungkinan engagement dengan kekuatan laut negara-negara maju.
Indonesia yang mempunyai selat-selat strategis dan focal points/chokepoints, sangat diperhitungkan oleh AL negara-negara maju sebagai tempat yang ideal untuk mengeksploitasi strategi anti akses. Di antara alutsista yang dipandang mempunyai daya pukul mematikan untuk strategi itu adalah kapal selam diesel elektrik.
Para pendahulu kita di AL sudah dari awal menyadari nilai strategis kapal selam sebagai kekuatan deterrence sekaligus pemukul. Nggak heran bila kita langsung mengoperasikan 12 kapal selam awal 1960-an, padahal sebelum itu kita nggak punya pengalaman operasional senjata itu sama sekali. Setelah kapal selam kelas Whiskey pensiun total pada awal 1980-an, eksistensinya digantikan oleh dua kapal selam kelas U-209 dari Jerman.
Pada 1996 kita berupaya membeli beberapa buah kapal selam kelas U-205 untuk melengkapi U-209/1300. Namun karena krisis ekonomi, rencana itu dibatalkan. Kelas U-205 merupakan kapal selam pantai, mampu beroperasi di perairan dangkal. Itu yang membedakannya dengan U-209 yang merupakan kapal selam ocean going.
Sejak beberapa tahun terakhir, di dalam AL kita muncul kembali wacana agar kita mengoperasikan juga kapal selam mini atau midget submarine. Seingat saya, pada pertengahan 1990-an ketika AL dipimpin oleh Laksamana Arief Kushariadi, sempat dikaji kemungkinan pengoperasian midget submarine. Antara lain dengan mengirimkan tim peninjau ke Pakistan yang dinilai berpengalaman mengoperasikan alutsista jenis itu.
Saat ini sepertinya ada arah untuk mengembangkan midget submarine secara mandiri. Ada beberapa pihak yang mengusulkan kepada AL untuk membantu pengembangan midget submarine itu. Bahkan, dulu salah seorang petinggi AL pernah melawat ke sebuah negara yang aktif mengembangkan midget submarine sebagai bagian dari strategi pertahanan nasionalnya, untuk menjajaki pengadaan alutsista itu di Indonesia.
Lepas dari semua itu, merupakan suatu keharusan bagi kita untuk mengeksploitasi peperangan kapal selam. Kita tidak perlu mempertentangkan antara kapal selam ”ukuran normal” dengan midget submarine, karena kita butuh dua-duanya. Artinya, cepat atau lambat kita harus segera tentukan pengganti U-209/1300.
Memperhatikan dinamika bahwa pengembangan kekuatan kapal selam kita akan selalu menghadapi tantangan dari invisible hands, ada baiknya bila berupaya untuk mengembangkan midget submarine secara mandiri. Memang akan ada proses trial and error, namun proses itu merupakan keharusan untuk mengetahui kekurangan dari produk kita. Tinggal yang perlu diatur lebih lanjut adalah bagaimana pendanaan program itu.
Sedangkan untuk kapal selam ”ukuran normal”, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita masih harus tergantung pada negara-negara Eropa, entah itu Jerman, Prancis atau Rusia. Tinggal kita hitung mana yang resiko politiknya lebih rendah bila kita beli kapal selam dari mereka. Resiko politik mempunyai kaitan langsung dengan dukungan logistik secara berkelanjutan.
Pertimbangan politik dalam pengadaan alutsista lebih mendominasi daripada pertimbangan teknis. Itu wajar saja, karena teknologi alutsista mempunyai keterkaitan langsung dengan unsur politik. Tinggal kita yang harus pandai-pandai “menakar” keduanya, agar setidaknya pertimbangan politik tidak terlalu banyak mengorbankan pertimbangan teknis.
Kata kuncinya adalah kita harus kembangkan kemampuan anti akses, salah satunya melalui eksploitasi kapal selam. Dengan catatan bahwa eksploitasi itu harus diimbangi pula dengan peningkatan kemampuan kita dalam mendeteksi pergerakan kapal selam di bawah air.
Sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa mendeteksi pergerakan kapal selam merupakan suatu hal yang tidak mudah. Tidak gampang buat seorang pelaut untuk menjadi spesialis sonar. Dia dituntut untuk mampu membedakan suatu ratusan atau ribuan ikan dengan suara kapal selam.
Oleh sebab itu, riset akustik harus dikembangkan lebih lanjut dan ini sebagian domainnya berada di luar domain AL. Artinya, pengembangan strategi anti akses oleh AL harus didukung pula oleh komponen-komponen terkait di luar AL. Pertanyaannya, sepakatkah kita untuk mengembangkan strategi anti akses?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar