09 Juni 2008

Resolusi DK PBB N0.1816

All hands,
Suatu preseden baru soal keamanan maritim sudah tercipta 2 Juni 2008 lalu di New York. Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi S/Res/1816 (2008), isinya membahas tentang situasi di Somalia dengan fokus pada keamanan maritim di negeri itu. Dalam resolusi itu, Dewan Keamanan menekankan pentingnya kerjasama semua negara, termasuk dengan IMO, dengan Pemerintahan Transisi Federal Somalia untuk menghadapi masalah pembajakan dan perompakan bersenjata di Somalia.
Resolusi S/Res/1816 memberikan kuasa selama periode enam bulan sejak resolusi dikeluarkan, kepada negara-negara yang terlibat dalam perang terhadap pembajakan dan perompakan bersenjata di perairan Somalia, dengan pemberitahuan terlebih dahulu dari Pemerintahan Transisi kepada Sekretaris Jenderal PBB, untuk:

· memasuki perairan teritorial Somalia dengan tujuan menindas pembajakan dan perompakan bersenjata di laut
· menggunakan segala sumber daya yang tersedia untuk menindas pembajakan dan perompakan bersenjata

Pertanyaannya, kenapa resolusi itu sampai bisa keluar? Menurut saya, setidaknya ada dua alasan mengapa Dewan Keamanan getol menggolkan resolusi itu.
Pertama, terbitnya resolusi S/Res/1816 (2008) menunjukkan terganggunya kepentingan negara-negara besar, khususnya uwak Sam dan sekutunya. Terbitnya resolusi Dewan Keamanan PBB kali ini merupakan preseden pertama dalam hal keamanan maritim, sebab sebelumnya masalah keamanan maritim biasanya dibahas di sidang IMO saja. Sepengetahan saya, sebelum ini belum pernah ada masalah tentang keamanan maritim yang dibawa ke Dewan Keamanan.
Adanya resolusi tentang pembajakan dan perompakan di laut di perairan Somalia menandakan bahwa kepentingan negara-negara besar terganggu di sana. Perairan Somalia merupakan penghubung antara kawasan Timur Tengah/Mediterania dengan negara-negara pantai timur Afrika. Om Sam dan negara-negara Eropa punya kekhawatiran besar dari akan terjadinya pertemuan kepentingan antara kelompok pembajak dan perompak di laut dengan kelompok Al Qaidah. Nggak aneh bila sejak awal tahun 2000-an AL negara-negara tersebut menyebarkan kekuatan di sekitar perairan Tanduk Afrika hingga pantai timur Afrika untuk menjamin keamanan maritim.
Kedua, soal failed state. Somalia sejak awal 1990-an tergolong sebagai failed state setelah rezim Mohammad Siad Barre jatuh. Setelah itu nggak ada pemerintahan yang mampu menyatukan semua golongan dan wilayah di sana, yang ada adalah para warlords yang berkuasa di wilayah kesukuan masing-masing. Salah satu warlord yang terkenal adalah Mohammad Farah Aidid yang mampu pecundangi U.S. Delta Force dan U.S. Rangers di bawah pimpinan Mayor Jenderal William F. Garrison Oktober 1993 di pasar Bakhara, Mogadishu.
Sekarang secara de facto memang ada Pemerintahan Transisi Federal Somalia yang berkuasa di Mogadishu. Tapi basis pemerintahan itu lemah, sebab mereka dapat berkuasa karena dibantu secara militer oleh beberapa negara di sekitar Somalia, khususnya Ethiopia dan didukung oleh uwak Sam.
Om Sam mendukung Pemerintahan Transisi karena dia ingin menghancurkan basis Al Qaidah yang berlindung di Somalia. Menurut beberapa sumber intelijen, selama beberapa tahun terakhir satuan pasukan khusus om Sam disebarkan ke dalam wilayah Somalia untuk mencari dan menghancurkan kelompok Al Qaidah dan afiliasinya.
Karena nggak ada pemerintahan yang efektif, tidak ada pihak yang dapat menjamin keamanan di Somalia, termasuk di laut. Akibatnya, kelompok-kelompok bersenjata di Somalia dengan mudahnya melakukan segala kegiatan untuk mencari dana bagi perjuangannya, termasuk melalui pembajakan dan perompakan di laut. Nggak aneh bila kini perairan Somalia merupakan perairan paling tidak aman di dunia menurut IMO dan organisasi maritim swasta lainnya.
So…terbitnya resolusi S/Res/1816 (2008) merupakan preseden bahwa cakupan Dewan Keamanan kini telah menjangkau isu keamanan maritim. Hal itu merupakan peringatan bagi Indonesia, karena kasus Somalia sangat mungkin terjadi di perairan yurisdiksi kita yang mempunyai beberapa chokepoints strategis, bila negeri ini gagal menjamin keamanan maritim bagi penggunanya.
Meskipun Indonesia tidak dapat digolongkan sebagai failed state, namun bibit untuk mengarah ke sana bersifat laten. Memang kondisi di Aceh yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka relatif aman, tapi siapa yang bisa jamin kondisi ke depan. Begitu pula stabilitas di Papua yang volatile, yang perairannya berada di jalur pelayaran antara Asia Timur-Australia.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Ya...ya...memang perlu langkah nyata secara komprehensif integral untuk memecahkan permasalahan tersebut. Membutuhkan adnya interoperability dengan pihak/negara sekawasan utk bersama-sama mengatasinya. Mungkin saja ke depan perlu peninjauan ulang teantang bentuk kerjasama yang tela ada....selanjutnya terserah oleh pemerintah Somalia sendiri.