25 Juni 2008

Piramida Angkatan Laut

All hands,
Di Inggris pada abad ke-16, hidup seorang pemilik stable yang bernama Thomas Hobson. Manusia yang satu ini unik. Kenapa unik? Karena setiap orang datang mencari kuda ke stable-nya di Cambridge, dikasih pilihan yaitu ambil kuda yang terdekat posisinya dengan pintu stable atau tidak sama sekali alias pulang dengan tangan kosong. Dari sini kemudian lahir idiom The Hobson’s Choice, yang artinya no choice at all.
Kalau The Hobson’s Choice kita tarik ke domain maritim di Nusantara, soal eksistensi AL menurut saya juga berlaku. Pilihannya cuma The Navy or nothing!!! Sebagai negeri kepulauan yang dikaruniakan Allah Swt, pilihan untuk mempertahankan eksistensi, martabat, harga diri kita adalah eksistensi AL.
Tentu suatu hal yang sangat aneh bila negeri dengan perairannya yang sangat luas justru mempunyai kekuatan laut yang lemah. Itu baru kekuatan laut, belum kekuatan maritim.
Mendalami kembali pemikiran Geoffrey Till, kekuatan maritim suatu bangsa antara lain harus ditunjang antara lain oleh preferensi masyarakat, preferensi pemerintah, geografis dan industri maritim. Tanpa itu, sekuat apapun AL yang dimiliki negeri itu menjadi tidak berarti. Karena eksistensi AL harus didukung oleh komponen-komponen itu.
Di Amerika Serikat dan Inggris, tradisi maritim mereka ibarat piramida. Di dasar piramid ada pelayaran niaga dan galangan kapal, sementara di puncak piramida adalah AL. Namun untuk negeri om Sam sekarang, piramidanya sudah terbalik. Pelayaran niaga dan galangan kapal mereka mengalami kemunduran, sementara AL-nya malah makin berjaya.
Bagaimana dengan kita? Industri pelayaran kita baru berupaya bangkit setelah ada Inpres No.5 Tahun 2005 tentang Cabotage. Asas cabotage mengharuskan semua kapal yang berlayar antar wilayah di Indonesia harus menggunakan bendera Merah Putih. Baik itu kapal penumpang maupun kapal kargo dan jenis kapal lainnya. Kapal asing tidak bisa masuk ke semua pelabuhan Indonesia, kecuali pelabuhan tertentu saja.
Asas cabotage kaitannya dengan kedaulatan!!! Titik!!! Gimana kita mau berdaulat, kalau kapal yang mengangkut barang dari Jakarta ke Ambon berbendera Singapura? Dan asas cabotage tidak bertentangan dengan prinsip WTO. Amerika Serikat saja terapkan asas ini.
Dulu asas cabotage sempat dicabut selama puluhan tahun karena kepentingan bisnis penguasa waktu itu. Kepentingan bisnis penguasa mengalahkan kepentingan nasional. Dan perlu perjuangan lama untuk kembalikan asas cabotage di Indonesia. Karena dapat penentangan dari Singapura yang dirugikan bila asas ini diterapkan kembali oleh Indonesia.
Galangan kapal? Galangan kapal kita pemain berdiri sendiri. Dia cuma bisa bikin platform, tapi sistem penggerak, elektronika dan lain-lain masih tergantung dari luar negeri. Itulah yang terjadi di PT PAL, misalnya. Dia bisa bikin FPB-57, tapi cuma platform-nya. Propulsi, sewaco dan lain-lain masih tergantung pada bule-bule Eropa.
Dengan kondisi begitu, AL kita sebenarnya berdiri atas piramida yang rapuh. Sewaktu-waktu piramida itu bisa runtuh. Lalu tanggung jawab siapa untuk perbaiki dasar piramida itu? Pemerintah!!!

Tidak ada komentar: