All hands,
Dalam naval warfare, salah satu kesulitan yang dihadapi unsur-unsur kapal perang adalah mencari dan mengindentifikasi sasaran di laut terbuka. Apalagi kapal-kapal yang ada di laut lebih banyak kapal sipil/kapal niaga daripada kapal perang. Serangan terhadap sasaran yang salah/sasaran kapal sipil bisa menimbulkan komplikasi politik.
Karena negara pemilik kapal dan flag of convenience akan protes. Bahkan lebih jauh terlibat dalam konflik. Itulah yang terjadi dengan serangan torpedo kapal selam Jerman terhadap RMS Lusitania (bukan Lusitanio Expresso lho) pada Perang Dunia Pertama sebagai bagian dari kebijakan unresticted U-Boats offensive. RMS Lusitania itu kapal penumpang milik Inggris yang ditorpedo U-20 pada 20 Mei 1915 di lepas pantai Irlandia, menewaskan 1.198 orang di atasnya. Washington terpicu ikut perang di Eropa salah satu pemicunya kasus itu, meskipun baru pada 6 April 1917 menyatakan terlibat langsung.
Dalam Latgab TNI kemarin, salah satu kemampuan yang diuji adalah ASUW melalui penembakan rudal anti kapal C-802. Penembakan itu merupakan kali ketiga, setelah dua kali sebelumnya dicoba di Selat Bali. Percobaan pertama nggak kena sasaran, percobaan kedua kena sasaran dari jarak 60 km pada 28 Maret 2008. Mengacu pada spesifikasi dari pabriknya, C-802 punya kemampuan jelajah sampai 120 km.
Rudal buatan om Mao ini populer dua tahun lalu, tepatnya saat 14 Juli 2006 malam. Waktu itu satu dari dua rudal C-802 versi darat yang diluncurkan kelompok Hizbullah Lebanon sukses menghantam INS Ahi Hanit punya AL Israel yang diklaim sebagai korvet termodern di dunia. Kapal perang buatan galangan Northrop Grumman Ship Systems itu posisinya tengah berada di Laut Mediterania meronda perairan Lebanon. Akibatnya bagian buritan kapal terkena rudal dan empat awak kapal tewas.
Setelah punya C-802 dalam arsenal, kita juga merencanakan miliki rudal Yakhont buatan NPO Mashinostroyeniya, Rusia. Dibandingkan dengan C-802, rudal jelajah anti kapal ini punya daya jelajah sampai 300 km. Keunggulan rudal ini bukan sekedar pada kemampuan hindari atau lawan jamming, tapi adanya kemampuan artificial intelligence yang dikembangkan oleh NPO Mashinostroyeniya.
Dikaitkan dengan sea surveillance, salah satu critical vulnerability yang harus kita antisipasi kalau Yakhont jadi dibeli adalah kemampuan sea surveillance kita. Dengan kemampuan jelajah hingga 300 km, rudal ini harus didukung oleh sistem surveillance yang memadai pada unsur-unsur kapal atas air. Satu-satunya yang bisa diandalkan adalah surveillance radar, karena kemampuan pesawat udara nggak bisa kita harapkan. Selain daya jelajah pesud-pesud di Pusnerbal terbatas, mereka akan jadi sasaran empuk lawan.
Pertanyaannya sekarang, itu sudah kita programkan belum pengadaannya? Dari mana sumbernya? Kalau kita beli dari negara-negara NATO, saya nggak yakin mereka akan kasih. Kecuali di-acc oleh Washington. Pilihan paling realistis adalah beli dari Rusia juga. Jadi klop antara rudal dan surveillance radar-nya.
Kalau beli dari non Rusia, interface-nya lumayan ”berat” juga. Jangankan antar blok produsen senjata yang berbeda, untuk interface antara surveillance radar dan fire control buatan Thales Netherland dengan meriam Oto Melara buatan Italia saja lumayan “sulit”. Padahal itu sama-sama buatan NATO. Apalagi antara produk NATO dan non NATO.
Masalah sea surveillance ini sudah dihadapi oleh AL India. Negeri itu kan beli banyak kapal selam dan kapal atas air yang dilengkapi rudal anti kapal permukaan berdaya jelajah di atas 300 mil. Celakanya pengadaan itu nggak didukung oleh surveillance system mereka. Apakah masalah itu akan juga menghinggapi AL kita dalam beberapa waktu ke depan?
Dalam naval warfare, salah satu kesulitan yang dihadapi unsur-unsur kapal perang adalah mencari dan mengindentifikasi sasaran di laut terbuka. Apalagi kapal-kapal yang ada di laut lebih banyak kapal sipil/kapal niaga daripada kapal perang. Serangan terhadap sasaran yang salah/sasaran kapal sipil bisa menimbulkan komplikasi politik.
Karena negara pemilik kapal dan flag of convenience akan protes. Bahkan lebih jauh terlibat dalam konflik. Itulah yang terjadi dengan serangan torpedo kapal selam Jerman terhadap RMS Lusitania (bukan Lusitanio Expresso lho) pada Perang Dunia Pertama sebagai bagian dari kebijakan unresticted U-Boats offensive. RMS Lusitania itu kapal penumpang milik Inggris yang ditorpedo U-20 pada 20 Mei 1915 di lepas pantai Irlandia, menewaskan 1.198 orang di atasnya. Washington terpicu ikut perang di Eropa salah satu pemicunya kasus itu, meskipun baru pada 6 April 1917 menyatakan terlibat langsung.
Dalam Latgab TNI kemarin, salah satu kemampuan yang diuji adalah ASUW melalui penembakan rudal anti kapal C-802. Penembakan itu merupakan kali ketiga, setelah dua kali sebelumnya dicoba di Selat Bali. Percobaan pertama nggak kena sasaran, percobaan kedua kena sasaran dari jarak 60 km pada 28 Maret 2008. Mengacu pada spesifikasi dari pabriknya, C-802 punya kemampuan jelajah sampai 120 km.
Rudal buatan om Mao ini populer dua tahun lalu, tepatnya saat 14 Juli 2006 malam. Waktu itu satu dari dua rudal C-802 versi darat yang diluncurkan kelompok Hizbullah Lebanon sukses menghantam INS Ahi Hanit punya AL Israel yang diklaim sebagai korvet termodern di dunia. Kapal perang buatan galangan Northrop Grumman Ship Systems itu posisinya tengah berada di Laut Mediterania meronda perairan Lebanon. Akibatnya bagian buritan kapal terkena rudal dan empat awak kapal tewas.
Setelah punya C-802 dalam arsenal, kita juga merencanakan miliki rudal Yakhont buatan NPO Mashinostroyeniya, Rusia. Dibandingkan dengan C-802, rudal jelajah anti kapal ini punya daya jelajah sampai 300 km. Keunggulan rudal ini bukan sekedar pada kemampuan hindari atau lawan jamming, tapi adanya kemampuan artificial intelligence yang dikembangkan oleh NPO Mashinostroyeniya.
Dikaitkan dengan sea surveillance, salah satu critical vulnerability yang harus kita antisipasi kalau Yakhont jadi dibeli adalah kemampuan sea surveillance kita. Dengan kemampuan jelajah hingga 300 km, rudal ini harus didukung oleh sistem surveillance yang memadai pada unsur-unsur kapal atas air. Satu-satunya yang bisa diandalkan adalah surveillance radar, karena kemampuan pesawat udara nggak bisa kita harapkan. Selain daya jelajah pesud-pesud di Pusnerbal terbatas, mereka akan jadi sasaran empuk lawan.
Pertanyaannya sekarang, itu sudah kita programkan belum pengadaannya? Dari mana sumbernya? Kalau kita beli dari negara-negara NATO, saya nggak yakin mereka akan kasih. Kecuali di-acc oleh Washington. Pilihan paling realistis adalah beli dari Rusia juga. Jadi klop antara rudal dan surveillance radar-nya.
Kalau beli dari non Rusia, interface-nya lumayan ”berat” juga. Jangankan antar blok produsen senjata yang berbeda, untuk interface antara surveillance radar dan fire control buatan Thales Netherland dengan meriam Oto Melara buatan Italia saja lumayan “sulit”. Padahal itu sama-sama buatan NATO. Apalagi antara produk NATO dan non NATO.
Masalah sea surveillance ini sudah dihadapi oleh AL India. Negeri itu kan beli banyak kapal selam dan kapal atas air yang dilengkapi rudal anti kapal permukaan berdaya jelajah di atas 300 mil. Celakanya pengadaan itu nggak didukung oleh surveillance system mereka. Apakah masalah itu akan juga menghinggapi AL kita dalam beberapa waktu ke depan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar