All hands,
Dalam pengadaan alutsista, salah satu hal yang harus kita perhitungkan dengan matang adalah life cycle cost. Sebab life cycle cost akan menguntungkan atau mungkin membebani anggaran ketika kita sudah memutuskan bahwa kita membeli kapal jenis kelas x atau y atau z. Secara garis besar, life cycle cost terdiri dari tiga elemen yaitu akuisisi, operasi dan pemeliharaan dan penghapusan.
Sebelum kita melaksanakan akuisisi, harus ada analisis life cycle cost terhadap calon-calon kapal perang yang kita akan beli. Ambil contoh kapal selam, misalnya dengan tiga kandidat yang relatif sekelas yaitu U-209, Kilo dan Changbogo. Dari ketiganya, kita harus bandingkan life cycle cost-nya.
Changbogo untuk harga pengadaan memang lebih murah dibandingkan U-209 dan Kilo. Tapi apakah untuk biaya operasi dan pemeliharaannya juga lebih murah dibandingkan dua kompetitornya? Murah pada harga pengadaan bukan jaminan akan murah pula pada operasi dan pemeliharaan, yang mana jangka operasi dan pemeliharaan minimal 25 tahun. Selama 25 tahun bergabung dalam armada, kita harus perhitungkan berapa biaya pemeliharaannya.
Dengan perhitungan itu, kita bisa menyusun ancar-ancar anggaran tiap tahunnya hingga tahun ke 25. Misalnya tahun ke berapa dia harus masuk pemeliharaan menengah dan berapa biayanya, tahun ke berapa harus masuk pemeliharaan depo dan juga berapa biayanya. Dengan demikian sejak dini kita punya perencanaan anggaran, sehingga nggak ada lagi cerita kapal tidak bisa operasional karena belum dianggarkan pemeliharaannya.
Pendekatan serupa harus kita lakukan pula pada U-209 dan Kilo. Mana yang life cycle cost-nya terendah. Dari situ baru kita bisa ambil kesimpulan, bahwa dari aspek life cycle cost kapal selam jenis x lebih murah dibandingkan lainnya. Tentu masih ada aspek-aspek lain yang harus dipertimbangkan pula sebelum sebuah keputusan mengenai kapal selam yang dipilih dikeluarkan.
Pendekatan serupa diterapkan pula pada alutsista lainnya, baik kapal atas air maupun pesawat udara. Penggunaan life cycle cost itu wajib hukumnya dalam pengadaan alutsista, karena selama masuk dalam inventori maka kita harus siapkan dana pemeliharaan. Berapa besaran dana yang dibutuhkan, itu hanya bisa dikalkulasi melalui life cycle cost. Tanpa itu, kita nggak bisa tentukan apakah alutsista yang kita pilih itu ekonomis atau malah jadi beban anggaran.
Harus diakui bahwa di militer Indonesia, masalah life cycle cost belum dipahami dengan betul, apalagi diterapkan. Padahal kalau itu diterapkan, akan ada banyak efisiensi yang terjadi. Dari situ kita bisa tentukan kapal perang apa saja yang harus kita hapus dari inventori karena sudah tidak ekonomis lagi. Ekonomis dalam arti bahwa kinerja operasionalnya sebanding dengan jumlah dana yang dikeluarkan untuk pemeliharaan kapal itu.
Departemen Pertahanan yang merupakan pintu masuk tunggal pengadaan alutsista pun belum mengerti masalah life cycle cost. Dalam pengadaan selama ini, mereka nggak pernah bikin analisis life cycle cost. Jadi bukan militernya saja yang sebagai pengguna yang nggak paham, tapi juga Departemen Pertahanan sebagai penentu kebijakan.
Dengan pendekatan life cycle cost pula, dalam pengadaan alutsista dapat diminimalisasi pertimbangan-pertimbangan subyektif yang selama ini banyak terjadi. Karena pertimbangan-pertimbangan subyektif itu maka ada cost yang harus dibayar setelah alutsista itu masuk dalam armada. Dan cost itu tidak selamanya berupa uang, tapi juga yang sifatnya non materi.
Dalam pengadaan alutsista, salah satu hal yang harus kita perhitungkan dengan matang adalah life cycle cost. Sebab life cycle cost akan menguntungkan atau mungkin membebani anggaran ketika kita sudah memutuskan bahwa kita membeli kapal jenis kelas x atau y atau z. Secara garis besar, life cycle cost terdiri dari tiga elemen yaitu akuisisi, operasi dan pemeliharaan dan penghapusan.
Sebelum kita melaksanakan akuisisi, harus ada analisis life cycle cost terhadap calon-calon kapal perang yang kita akan beli. Ambil contoh kapal selam, misalnya dengan tiga kandidat yang relatif sekelas yaitu U-209, Kilo dan Changbogo. Dari ketiganya, kita harus bandingkan life cycle cost-nya.
Changbogo untuk harga pengadaan memang lebih murah dibandingkan U-209 dan Kilo. Tapi apakah untuk biaya operasi dan pemeliharaannya juga lebih murah dibandingkan dua kompetitornya? Murah pada harga pengadaan bukan jaminan akan murah pula pada operasi dan pemeliharaan, yang mana jangka operasi dan pemeliharaan minimal 25 tahun. Selama 25 tahun bergabung dalam armada, kita harus perhitungkan berapa biaya pemeliharaannya.
Dengan perhitungan itu, kita bisa menyusun ancar-ancar anggaran tiap tahunnya hingga tahun ke 25. Misalnya tahun ke berapa dia harus masuk pemeliharaan menengah dan berapa biayanya, tahun ke berapa harus masuk pemeliharaan depo dan juga berapa biayanya. Dengan demikian sejak dini kita punya perencanaan anggaran, sehingga nggak ada lagi cerita kapal tidak bisa operasional karena belum dianggarkan pemeliharaannya.
Pendekatan serupa harus kita lakukan pula pada U-209 dan Kilo. Mana yang life cycle cost-nya terendah. Dari situ baru kita bisa ambil kesimpulan, bahwa dari aspek life cycle cost kapal selam jenis x lebih murah dibandingkan lainnya. Tentu masih ada aspek-aspek lain yang harus dipertimbangkan pula sebelum sebuah keputusan mengenai kapal selam yang dipilih dikeluarkan.
Pendekatan serupa diterapkan pula pada alutsista lainnya, baik kapal atas air maupun pesawat udara. Penggunaan life cycle cost itu wajib hukumnya dalam pengadaan alutsista, karena selama masuk dalam inventori maka kita harus siapkan dana pemeliharaan. Berapa besaran dana yang dibutuhkan, itu hanya bisa dikalkulasi melalui life cycle cost. Tanpa itu, kita nggak bisa tentukan apakah alutsista yang kita pilih itu ekonomis atau malah jadi beban anggaran.
Harus diakui bahwa di militer Indonesia, masalah life cycle cost belum dipahami dengan betul, apalagi diterapkan. Padahal kalau itu diterapkan, akan ada banyak efisiensi yang terjadi. Dari situ kita bisa tentukan kapal perang apa saja yang harus kita hapus dari inventori karena sudah tidak ekonomis lagi. Ekonomis dalam arti bahwa kinerja operasionalnya sebanding dengan jumlah dana yang dikeluarkan untuk pemeliharaan kapal itu.
Departemen Pertahanan yang merupakan pintu masuk tunggal pengadaan alutsista pun belum mengerti masalah life cycle cost. Dalam pengadaan selama ini, mereka nggak pernah bikin analisis life cycle cost. Jadi bukan militernya saja yang sebagai pengguna yang nggak paham, tapi juga Departemen Pertahanan sebagai penentu kebijakan.
Dengan pendekatan life cycle cost pula, dalam pengadaan alutsista dapat diminimalisasi pertimbangan-pertimbangan subyektif yang selama ini banyak terjadi. Karena pertimbangan-pertimbangan subyektif itu maka ada cost yang harus dibayar setelah alutsista itu masuk dalam armada. Dan cost itu tidak selamanya berupa uang, tapi juga yang sifatnya non materi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar