All hands,
Penggunaan hasil industri pertahanan dalam negeri kembali ditekankan oleh pemimpin nasional saat HUT TNI. Penekanan atau perintah itu bagus sekali, kalau industri pertahanan dalam negeri memang sudah mampu. Namun bila belum mampu, jangan dipaksakan tiap Angkatan memakai hasil industri dalam negeri. Karena hasilnya akan mempengaruhi kinerja operasional TNI di lapangan.
Kita sama-sama tahu, kemampuan industri pertahanan dalam negeri itu baru sebatas senapan ringan, mortar dan munisinya. Itu cuma bisa buat mempersenjatai pasukan infanteri. Untuk kendaraan lapis baja, kapal perang, pesawat udara dan lainnya, suka tidak suka masih harus andalkan pengadaan dari luar negeri.
Betul PT Pindad bisa bikin kendaraan lapis baja. Tapi kenyataannya kendaraan masih mempunyai sejumlah kekurangan yang mesti diperbaiki. Ketergantungan Pindad sama vendor asing juga masih tinggi, lihat saja mesinnya masih harus tergantung dari Prancis. Kasus yang mirip adalah PT PAL, yang kemampuannya memang cuma bikin bangun kapal. Mesin, senjata dan elektronikanya masih tergantung pasokan dan kemurahan hati dari Eropa.
Artinya apa? Industri pertahanan dalam negeri belum didukung oleh vendor dari dalam negeri pula. Vendor itu bisa berupa industri mesin, elektronika, sistem senjata dan lain-lain. Ini yang selama puluhan tahun kurang didorong pengembangannya oleh pemerintah.
Pemerintah cuma sibuk dengan industri hulunya, tapi hilirnya kurang dirangsang untuk dikembangkan. Bandingkan dengan India, yang dukungan vendor dalam negerinya kuat. India bikin kapal perang bukan bangunan kapalnya saja, tapi hampir semuanya. Cuma beberapa komponen saja yang masih tergantung dari luar negeri.
Kita selama ini masih bermimpi alih teknologi. Alih teknologi itu nggak ada!!! Itu cuma bahasa politik!!! Kita kalau pengadaan alutsista, maunya sebagian dibuat di dalam negeri. Negara produsen nggak akan keberatan, asalkan belinya puluhan atau ratusan. Kita cuma beli empat kapal, maunya sebagian dibuat di dalam negeri.
Mana mau negara produsen. Kecuali kita beli 10, masih mau dia. India beli kapal selam dari Rusia saja lebih dari lima, sehingga posisi tawar dia untuk dibuat di galangan nasional India ada. Begitu pula pengadaan pesawat tempur Sukhoi India yang satu paket lebih dari seratus pesawat, jelas saja Rusia mau kasih lisensi.
Indonesia yang punya kebiasaan belanja alutsista eceran maunya diperlakukan seperti konsumen yang belanja alutsista grosir. Yah mana mau produsen kasih lisensi ke Indonesia. Lihat kemajuan pembangunan kapal LPD ke-3 dan ke-4 di PT PAL, sampai sekarang belum beres. Bandingkan bila kapal itu dibangun di Korea, mungkin sekarang dua-duanya sudah masuk dalam Armada AL kita.
Pesannya adalah pemerintah jangan nafsu besar tenaga kurang dalam program pengadaan alutsista dari dalam negeri. Kalau belum mampu, yah sadar diri. Kedaulatan, harga diri bangsa, martabat bangsa, pembelaannya nggak bisa menunggu sampai industri pertahanan dalam negeri mampu dukung alutsista TNI. Nggak ada pilihan lain kecuali masih harus andalkan pengadaan dari luar negeri dengan segenap resikonya. Tentu yang kita cari adalah resikonya paling sedikit buat bangsa ini.
Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, Kementerian Ristek mestinya dorong bagaimana caranya agar para pengusaha di dalam negeri itu mau kembangkan R&D, jangan jadi pedagang kayak para “pengusaha” otomotif. Dorongan itu antara lain berupa insentif pajak, pengurangan cukai masuk barang modal dan lain-lain. Tanpa itu, masalah vendor tetap akan menjadi lingkaran setan dalam pengembangan industri pertahanan dalam negeri.
Penggunaan hasil industri pertahanan dalam negeri kembali ditekankan oleh pemimpin nasional saat HUT TNI. Penekanan atau perintah itu bagus sekali, kalau industri pertahanan dalam negeri memang sudah mampu. Namun bila belum mampu, jangan dipaksakan tiap Angkatan memakai hasil industri dalam negeri. Karena hasilnya akan mempengaruhi kinerja operasional TNI di lapangan.
Kita sama-sama tahu, kemampuan industri pertahanan dalam negeri itu baru sebatas senapan ringan, mortar dan munisinya. Itu cuma bisa buat mempersenjatai pasukan infanteri. Untuk kendaraan lapis baja, kapal perang, pesawat udara dan lainnya, suka tidak suka masih harus andalkan pengadaan dari luar negeri.
Betul PT Pindad bisa bikin kendaraan lapis baja. Tapi kenyataannya kendaraan masih mempunyai sejumlah kekurangan yang mesti diperbaiki. Ketergantungan Pindad sama vendor asing juga masih tinggi, lihat saja mesinnya masih harus tergantung dari Prancis. Kasus yang mirip adalah PT PAL, yang kemampuannya memang cuma bikin bangun kapal. Mesin, senjata dan elektronikanya masih tergantung pasokan dan kemurahan hati dari Eropa.
Artinya apa? Industri pertahanan dalam negeri belum didukung oleh vendor dari dalam negeri pula. Vendor itu bisa berupa industri mesin, elektronika, sistem senjata dan lain-lain. Ini yang selama puluhan tahun kurang didorong pengembangannya oleh pemerintah.
Pemerintah cuma sibuk dengan industri hulunya, tapi hilirnya kurang dirangsang untuk dikembangkan. Bandingkan dengan India, yang dukungan vendor dalam negerinya kuat. India bikin kapal perang bukan bangunan kapalnya saja, tapi hampir semuanya. Cuma beberapa komponen saja yang masih tergantung dari luar negeri.
Kita selama ini masih bermimpi alih teknologi. Alih teknologi itu nggak ada!!! Itu cuma bahasa politik!!! Kita kalau pengadaan alutsista, maunya sebagian dibuat di dalam negeri. Negara produsen nggak akan keberatan, asalkan belinya puluhan atau ratusan. Kita cuma beli empat kapal, maunya sebagian dibuat di dalam negeri.
Mana mau negara produsen. Kecuali kita beli 10, masih mau dia. India beli kapal selam dari Rusia saja lebih dari lima, sehingga posisi tawar dia untuk dibuat di galangan nasional India ada. Begitu pula pengadaan pesawat tempur Sukhoi India yang satu paket lebih dari seratus pesawat, jelas saja Rusia mau kasih lisensi.
Indonesia yang punya kebiasaan belanja alutsista eceran maunya diperlakukan seperti konsumen yang belanja alutsista grosir. Yah mana mau produsen kasih lisensi ke Indonesia. Lihat kemajuan pembangunan kapal LPD ke-3 dan ke-4 di PT PAL, sampai sekarang belum beres. Bandingkan bila kapal itu dibangun di Korea, mungkin sekarang dua-duanya sudah masuk dalam Armada AL kita.
Pesannya adalah pemerintah jangan nafsu besar tenaga kurang dalam program pengadaan alutsista dari dalam negeri. Kalau belum mampu, yah sadar diri. Kedaulatan, harga diri bangsa, martabat bangsa, pembelaannya nggak bisa menunggu sampai industri pertahanan dalam negeri mampu dukung alutsista TNI. Nggak ada pilihan lain kecuali masih harus andalkan pengadaan dari luar negeri dengan segenap resikonya. Tentu yang kita cari adalah resikonya paling sedikit buat bangsa ini.
Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, Kementerian Ristek mestinya dorong bagaimana caranya agar para pengusaha di dalam negeri itu mau kembangkan R&D, jangan jadi pedagang kayak para “pengusaha” otomotif. Dorongan itu antara lain berupa insentif pajak, pengurangan cukai masuk barang modal dan lain-lain. Tanpa itu, masalah vendor tetap akan menjadi lingkaran setan dalam pengembangan industri pertahanan dalam negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar