All hands,
Setelah Perang Dingin berakhir, strategi maritim juga mengalami penyesuaian. Dulu strategi maritim menekankan pada decisive battle yang mempertemukan dua Angkatan Laut atau lebih untuk bertempur di tengah laut. Sekarang medan tempur Angkatan Laut sudah berubah dari tengah laut ke wilayah littoral. Kata kuncinya bukan lagi what we can do at sea, tetapi what we can do from sea.
Bergesernya fokus strategi maritim ke wilayah littoral menjadikan littoral warfare menjadi fokus banyak Angkatan Laut. Littoral warfare merupakan operasi proyeksi kekuatan dari laut ke pantai (lawan). Untuk melaksanakan proyeksi kekuatan, tentu saja dibutuhkan alutsista yang harus mampu mendukung proyeksi itu.
Untuk littoral warfare dan juga operasi lainnya di littoral seperti humanitarian assistance and disaster relief, non-combatant evacuation operations, salah satu alutsista yang dibutuhkan adalah kapal pendarat. Jenisnya secara umum adalah landing platform dock (LPD), landing platform amphibious (LPA) atau yang sejenis. Kapal-kapal itu diperlukan untuk operasi amfibi, baik untuk tempur laut maupun non tempur laut.
Di negara-negara sekitar Indonesia, Angkatan Laut mereka terus kembangkan kemampuan littoral warfare, termasuk eksistensi kapal-kapal pendarat sekelas LPD. Misalnya Royal Australian Navy dengan HMAS Kanimbla, HMAS Tobruk dan HMAS Manoora. Untuk mengingatkan, kapal-kapal itu menjadi tulang punggung invasi Australia ke Timor Timur tahun 1999 atas nama kekuatan multinasional dengan dalih melaksanakan responsibility to protect.
Sekarang Angkatan Laut negeri itu tengah menantikan masuknya dua LHD baru kelas Canberra, yang direncanakan masuk pada 2013 dan 2015. Pengadaan LHD kelas Canberra satu paket dengan Air Warfare Destroyer (AWD) kelas Hobart.
Singapura negeri kecil, kaya namun licik dan rakus itu juga demikian. Dia punya kapal-kapal LST yang mampu untuk melaksanakan littoral operation. Tentu kita bertanya, dia mau proyeksi kekuatan kemana sih? Sasaran utama proyeksi kekuatan dia adalah ke wilayah Indonesia, khususnya Sumatera.
Dalam kondisi permusuhan antara Indonesia-Singapura atau ada gejolak di pantai timur Sumatera, dia akan invasi Kepulauan Riau dan pesisir timur Sumatera, kalau bisa mulai dari Aceh sampai Riau. Tujuannya selain untuk menjadikan hal itu sebagai bargaining position terhadap Indonesia, juga untuk amankan Selat Malaka yang jadi jalur hidup mati dia. Sebab negeri kecil, kaya namun licik dan rakus itu takut sekali kalau Indonesia melakukan peperangan ranjau di Selat Malaka dan Selat Singapura. Sekali Indonesia tebar ranjau, nafas Singapura akan tersengal-sengal, meskipun belum sakratul maut.
Waktu gempa dan tsunami di Aceh, Singapura langsung kirim kapal-kapal itu untuk operasi kemanusiaan. Operasi kemanusiaan sambil intip sana sini, updating data dia tentang perairan Indonesia dan pantai-pantainya.
Pertanyaan kini, kemampuan littoral warfare yang dikembangkan oleh Angkatan Laut di sekitar Indonesia mau dipakai di mana sih? Rasanya terlalu ambisius kalau itu akan dipakai di luar wilayah Asia Pasifik. Saya yakin salah satunya mereka bersiap memakai itu di wilayah Indonesia, menggunakan momentum yang ada. Lihat kasus Timor Timur, bencana di Aceh. Dan siap-siap skenario itu terjadi di Papua, bila kondisi di sana kita nggak mampu tangani. Mereka akan masuk dengan topeng responsibility to protect.
Pintu masuknya macam-macam, skenarionya beragam. Entah itu bencana alam, konflik, ancaman terhadap SLOC yang ada di Indonesia (karena perompakan) dan lain sebagainya. Ada bermacam pintu masuk yang bisa mereka gunakan.
Lalu apa yang mesti Indonesia lakukan untuk mengantisipasi skenario-skenario itu? Sebagian tindakan antisipasi adalah domain pemerintah, sebagian lainnya merupakan domain militer, dalam hal ini Angkatan Laut. So...
Setelah Perang Dingin berakhir, strategi maritim juga mengalami penyesuaian. Dulu strategi maritim menekankan pada decisive battle yang mempertemukan dua Angkatan Laut atau lebih untuk bertempur di tengah laut. Sekarang medan tempur Angkatan Laut sudah berubah dari tengah laut ke wilayah littoral. Kata kuncinya bukan lagi what we can do at sea, tetapi what we can do from sea.
Bergesernya fokus strategi maritim ke wilayah littoral menjadikan littoral warfare menjadi fokus banyak Angkatan Laut. Littoral warfare merupakan operasi proyeksi kekuatan dari laut ke pantai (lawan). Untuk melaksanakan proyeksi kekuatan, tentu saja dibutuhkan alutsista yang harus mampu mendukung proyeksi itu.
Untuk littoral warfare dan juga operasi lainnya di littoral seperti humanitarian assistance and disaster relief, non-combatant evacuation operations, salah satu alutsista yang dibutuhkan adalah kapal pendarat. Jenisnya secara umum adalah landing platform dock (LPD), landing platform amphibious (LPA) atau yang sejenis. Kapal-kapal itu diperlukan untuk operasi amfibi, baik untuk tempur laut maupun non tempur laut.
Di negara-negara sekitar Indonesia, Angkatan Laut mereka terus kembangkan kemampuan littoral warfare, termasuk eksistensi kapal-kapal pendarat sekelas LPD. Misalnya Royal Australian Navy dengan HMAS Kanimbla, HMAS Tobruk dan HMAS Manoora. Untuk mengingatkan, kapal-kapal itu menjadi tulang punggung invasi Australia ke Timor Timur tahun 1999 atas nama kekuatan multinasional dengan dalih melaksanakan responsibility to protect.
Sekarang Angkatan Laut negeri itu tengah menantikan masuknya dua LHD baru kelas Canberra, yang direncanakan masuk pada 2013 dan 2015. Pengadaan LHD kelas Canberra satu paket dengan Air Warfare Destroyer (AWD) kelas Hobart.
Singapura negeri kecil, kaya namun licik dan rakus itu juga demikian. Dia punya kapal-kapal LST yang mampu untuk melaksanakan littoral operation. Tentu kita bertanya, dia mau proyeksi kekuatan kemana sih? Sasaran utama proyeksi kekuatan dia adalah ke wilayah Indonesia, khususnya Sumatera.
Dalam kondisi permusuhan antara Indonesia-Singapura atau ada gejolak di pantai timur Sumatera, dia akan invasi Kepulauan Riau dan pesisir timur Sumatera, kalau bisa mulai dari Aceh sampai Riau. Tujuannya selain untuk menjadikan hal itu sebagai bargaining position terhadap Indonesia, juga untuk amankan Selat Malaka yang jadi jalur hidup mati dia. Sebab negeri kecil, kaya namun licik dan rakus itu takut sekali kalau Indonesia melakukan peperangan ranjau di Selat Malaka dan Selat Singapura. Sekali Indonesia tebar ranjau, nafas Singapura akan tersengal-sengal, meskipun belum sakratul maut.
Waktu gempa dan tsunami di Aceh, Singapura langsung kirim kapal-kapal itu untuk operasi kemanusiaan. Operasi kemanusiaan sambil intip sana sini, updating data dia tentang perairan Indonesia dan pantai-pantainya.
Pertanyaan kini, kemampuan littoral warfare yang dikembangkan oleh Angkatan Laut di sekitar Indonesia mau dipakai di mana sih? Rasanya terlalu ambisius kalau itu akan dipakai di luar wilayah Asia Pasifik. Saya yakin salah satunya mereka bersiap memakai itu di wilayah Indonesia, menggunakan momentum yang ada. Lihat kasus Timor Timur, bencana di Aceh. Dan siap-siap skenario itu terjadi di Papua, bila kondisi di sana kita nggak mampu tangani. Mereka akan masuk dengan topeng responsibility to protect.
Pintu masuknya macam-macam, skenarionya beragam. Entah itu bencana alam, konflik, ancaman terhadap SLOC yang ada di Indonesia (karena perompakan) dan lain sebagainya. Ada bermacam pintu masuk yang bisa mereka gunakan.
Lalu apa yang mesti Indonesia lakukan untuk mengantisipasi skenario-skenario itu? Sebagian tindakan antisipasi adalah domain pemerintah, sebagian lainnya merupakan domain militer, dalam hal ini Angkatan Laut. So...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar