All hands,
Salah satu jargon yang saya kurang suka adalah soal TNI harus manunggal dengan rakyat. TNI harus dicintai rakyat. Itu kan jargon era 1940-an, era perang gerilya. Sehingga orientasi TNI itu membingungkan. TNI itu mau jadi tentara profesional atau tentara rakyat atau tentara pejuang?
Nggak bisa pilih ketiga-tiganya, karena tiga-tiganya berbeda. Kalau dari persepsi saya yang berdomain maritim, militer itu harus jadi tentara profesional. Artinya, dia harus dipenuhi kebutuhannya, minimal kebutuhan pokok. Kebutuhan pokok itu yah dari aspek kesejahteraan maupun persenjataan yang dibutuhkan. Tanpa itu, dia nggak bisa jadi profesional.
Kalau tentara rakyat itu kan tentara seadanya, nggak ada yang bayar. Siapa yang bayar? Rakyat? Rakyat saja susah kok, mau bayarin tentaranya?
Orientasi militer itu harus profesional. Soal mau dicintai rakyat atau tidak, itu dampak saja. Outcome-nya harus profesional. Cuma di Indonesia tentaranya yang berupaya dicintai rakyat, tapi buktinya kurang. Di luar negeri, kapal perang yang baru kembali pangkalan dari operasi di laut selama beberapa bulan disambut masyarakat di dermaga dengan bawa bunga dan bendera negara mereka. Yang sambut itu bukan saja keluarga awak kapal, tapi juga masyarakat umum.
Di Indonesia yang katanya tentaranya dicintai rakyat, nggak ada tuh sambutan masyarakat seperti itu. Lalu apa yang salah? Salah satunya adalah kita terlalu sibuk dengan jargon. Kita suka bermacam jargon, tapi buktinya nol besar.
Kalau TNI itu ingin dicintai rakyat, yah bikin HUT itu jangan ganggu kegiatan masyarakat. Jangan karena HUT lalu kegiatan ekonomi masyarakat berhenti beberapa jam. Kegiatan penerbangan Bandara Juanda dihentikan beberapa jam, begitu juga aktivitas di pelabuhan Tanjung Perak. Itulah krisis intangible yang terjadi di TNI selama ini dan lebih sulit memperbaikinya daripada sekedar nggak ikut berpolitik praktis.
Salah satu jargon yang saya kurang suka adalah soal TNI harus manunggal dengan rakyat. TNI harus dicintai rakyat. Itu kan jargon era 1940-an, era perang gerilya. Sehingga orientasi TNI itu membingungkan. TNI itu mau jadi tentara profesional atau tentara rakyat atau tentara pejuang?
Nggak bisa pilih ketiga-tiganya, karena tiga-tiganya berbeda. Kalau dari persepsi saya yang berdomain maritim, militer itu harus jadi tentara profesional. Artinya, dia harus dipenuhi kebutuhannya, minimal kebutuhan pokok. Kebutuhan pokok itu yah dari aspek kesejahteraan maupun persenjataan yang dibutuhkan. Tanpa itu, dia nggak bisa jadi profesional.
Kalau tentara rakyat itu kan tentara seadanya, nggak ada yang bayar. Siapa yang bayar? Rakyat? Rakyat saja susah kok, mau bayarin tentaranya?
Orientasi militer itu harus profesional. Soal mau dicintai rakyat atau tidak, itu dampak saja. Outcome-nya harus profesional. Cuma di Indonesia tentaranya yang berupaya dicintai rakyat, tapi buktinya kurang. Di luar negeri, kapal perang yang baru kembali pangkalan dari operasi di laut selama beberapa bulan disambut masyarakat di dermaga dengan bawa bunga dan bendera negara mereka. Yang sambut itu bukan saja keluarga awak kapal, tapi juga masyarakat umum.
Di Indonesia yang katanya tentaranya dicintai rakyat, nggak ada tuh sambutan masyarakat seperti itu. Lalu apa yang salah? Salah satunya adalah kita terlalu sibuk dengan jargon. Kita suka bermacam jargon, tapi buktinya nol besar.
Kalau TNI itu ingin dicintai rakyat, yah bikin HUT itu jangan ganggu kegiatan masyarakat. Jangan karena HUT lalu kegiatan ekonomi masyarakat berhenti beberapa jam. Kegiatan penerbangan Bandara Juanda dihentikan beberapa jam, begitu juga aktivitas di pelabuhan Tanjung Perak. Itulah krisis intangible yang terjadi di TNI selama ini dan lebih sulit memperbaikinya daripada sekedar nggak ikut berpolitik praktis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar