All hands,
Kawasan Asia Timur hingga kini masih terus "bergolak" dalam aspek geopolitik. Di wilayah ini berhadap-hadapan Cina dan Korea Utara versus Amerika Serikat dan sekutunya yaitu Jepang dan Korea Selatan. Isu yang menghangatkan hubungan kedua kubu bukan semata masalah nuklir Pyongyang, tidak pula sebatas pembangunan kekuatan militer Cina yang eksesif, tetapi menyangkut juga sengketa batas maritim antara Jepang-Korea Selatan dan Cina. Patroli kapal perang masing-masing negara di wilayah sengketa adalah hal biasa, begitu pula dengan penangkapan nelayan salah satu negara yang memasuki perairan yang diklaim oleh negara lain juga hal biasa. Yang tidak biasa dan tidak pernah dilakukan oleh ketiga negara adalah menukar nelayan yang ditangkap dengan petugas yang ditangkap negara lain, suatu hal yang (nampaknya akan) biasa bagi Indonesia.
Pertarungan geopolitik di kawasan ini cukup rumit, sebab bercampur aduk antara prestise nasional, kebutuhan energi, (dendam) sejarah masa lalu dan peran kekuatan ekstra kawasan. Sebagai ilustrasi, meskipun Tokyo dan Seoul yang merupakan sekutu Washington dalam menghadapi Beijing dan Pyongyang, akan tetapi antara Jepang dan Korea Selatan masih ada sengketa wilayah maritim dan dendam sejarah pula. Hubungan kedua negara sangat dipengaruhi oleh kemampuan Amerika Serikat "mengatur" mereka.
Semua negara yang terlibat pertarungan geopolitik di kawasan Asia Timur, kecuali Korea Utara, kini mempunyai kekuatan laut yang mampu melaksanakan operasi ekspedisionari atau setidaknya akan mampu melaksanakan operasi Angkatan Laut jarak jauh dalam beberapa tahun ke depan. Kemampuan ekspedisionari dibangun salah satunya karena kepentingan untuk mengamankan SLOC mereka, sebab SLOC terkait dengan pasokan energi untuk menjamin lancarnya perputaran mesin-mesin pabrik di negara-negara tersebut. Salah satu titik kritis yang menjadi "perebutan" negara-negara Asia Timur adalah chokepoints di perairan Indonesia, khususnya Selat Malaka.
Baik Cina, Jepang maupun Korea Selatan berkepentingan dengan terjaminnya keamanan chokepoints di Indonesia, bukan saja Selat Malaka tetapi mencakup pula Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Ombai-Wetar. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia sudah memanfaatkan kebutuhan negara-negara itu terhadap keamanan chokepoints bagi pembangunan kekuatan lautnya? Apabila sudah, apakah sudah optimal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar