All hands,
Indonesia bersama sebagian besar negara di dunia menganut kebijakan Satu Cina. Meskipun demikian, sebagaimana mayoritas negara di dunia pula, Jakarta membuka hubungan ekonomi dan sosial budaya dengan Taipei. Tak heran bila di Taiwan ada Kantor Perdagangan Indonesia yang merupakan "Kedutaan Besar Indonesia", sedangkan di Indonesia terdapat Kantor Perdagangan Taiwan yang merupakan "Kedutaan Besar Republik Cina".
Soal politik Satu Cina terkesan Indonesia takut-takut dengan Cina, sehingga membatasi diri sedemikian rupa dalam hubungan dengan Taiwan. Pada sisi lain, Jakarta terkesan tidak paham apa kartu truf yang dimilikinya untuk menghadapi asertifitas Beijing di Laut Cina Selatan. Dengan alasan sejarah, Beijing dengan seenaknya mengklaim ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan utara Kepulauan Natuna sebagai wilayahnya. Padahal sebenarnya Jakarta bisa memainkan kartu kebijakan Satu Cina.
Soal politik Satu Cina terkesan Indonesia takut-takut dengan Cina, sehingga membatasi diri sedemikian rupa dalam hubungan dengan Taiwan. Pada sisi lain, Jakarta terkesan tidak paham apa kartu truf yang dimilikinya untuk menghadapi asertifitas Beijing di Laut Cina Selatan. Dengan alasan sejarah, Beijing dengan seenaknya mengklaim ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan utara Kepulauan Natuna sebagai wilayahnya. Padahal sebenarnya Jakarta bisa memainkan kartu kebijakan Satu Cina.
Singkatnya, kalau Cina "macam-macam" di ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan, kebijakan Satu Cina bisa "dimainkan". Pertanyaannya, apa yang "dimainkan"? Yang dapat "dimainkan" adalah instrumen-instrumen kekuatan nasional. Apakah instrumen-instrumen itu dapat "dimainkan" oleh Indonesia? Kalau mengacu pada kepentingan nasional, seharusnya bisa dan mampu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar