All hands,
Dalam merespon tawaran yang terkesan murah hati soal sistem senjata surplus dari Amerika Serikat maupun negara-negara lain, Indonesia hendaknya berhati-hati. Salah satu bentuk kehati-hatian itu adalah menerapkan perhitungan life cycle cost terhadap efektivitas sistem senjata itu apabila kelak digunakan oleh Indonesia. Pendekatan life cycle cost akan meminimalisasi kerugian di masa depan, baik kerugian berupa material maupun terancamnya kedaulatan, karena pendekatan ini lebih "jujur dan obyektif" daripada pendekatan politik. Pendekatan politik cenderung menafikan kerugian ekonomis maupun non ekonomis yang akan dialami di masa depan.
Melalui pendekatan life cycle cost, perlu dihitung berupa usia platform yang ditawarkan. Misalnya untuk pesawat udara, dari total usia frame-nya berapa yang selama ini sudah dihabiskan sebelum sistem senjata itu dikategorikan sebagai surplus. Sisa usia frame itu akan menentukan berapa tahun maksimal sistem senjata surplus alias bekas tersebut dapat digunakan oleh Indonesia.
Lewat pendekatan itu pula, perlu dikalkulasi berapa biaya retrofit dan berapa biaya pemeliharaan yang nantinya akan dibutuhkan selama sisa usia sistem senjata tersebut. Apakah biaya yang dikeluarkan nantinya akan seimbang atau ekonomis dengan usia pakai yang tersisa? Bagaimana pula dengan dukungan suku cadang minimal hingga 20 tahun ke depan, apakah masih dijamin tersedia dengan harga yang ekonomis pula atau sebaliknya?
Perlu dipahami, apabila digambarkan dengan kurva terkait dengan sistem senjata surplus maka pencapaian garis tertinggi pada kurva tidak dapat diperhatikan secara konsisten dalam waktu lama. Tak lama secara garis tertinggi tercapai, akan terjadi penurunan tajam dari garis tersebut alias melengkung ke bawah secara drastis. Hal itu terjadi karena faktor ekonomis yang terkait life cycle cost. Setidaknya demikian pengalaman beberapa negara lain, bahkan Indonesia pun sesungguhnya memiliki pengalaman demikian terkait dengan sistem senjata surplus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar