All hand,
Konsep preventing the war is as important as winning the war apabila ditinjau dari perspektif perencanaan pertahanan merupakan sebuah konsep yang bagus. Banyak alasan untuk menyatakan konsep itu bagus, salah satunya adalah kesiapan menanggung cost yang harus dibayar untuk itu. Tentu saja cost-nya sudah diperhitungkan dengan benar dan berujung pada suatu ‘nilai” atau besaran yang mendekati pasti, bukan suatu cost yang tak terhingga seperti yang dianut oleh Sishankamrata maupun sishanta. Mengapa demikian?
Premis utama dari konsep itu adalah preventing the war. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan semua instrumen kekuatan nasional. Dengan kata lain, tidak semata mengandalkan kekuatan militer sebagai salah satu instrumen kekuatan nasional. Untuk preventing the war, sudah pasti ada cost yang harus dibayar ketika semua instrumen kekuatan nasional bekerja. Namun cost itu tentu saja sudah dikalkulasikan.
Untuk preventing the war, instrumen politik/diplomasi akan bekerja pada ranah antar bangsa. Instrumen ekonomi juga demikian, yang bagi kita yang bergelut di ranah strategi militer sulit memahami hutan rimba instrumen ekonomi itu. Instrumen ekonomi bukan sekedar soal penjatuhan sanksi perdagangan, pembatasan ekspor impor, tetapi juga mencakup pengendalian keluar masuk arus modal dan investasi ke negara sasaran. Sasarannya adalah membuat guncangan pada ekonomi negara sasaran, sehingga negara itu tidak melanjutkan langkahnya untuk berperang atau konflik dengan negara atau pihak lain.
Instrumen informasi bekerja “memanipulasi” informasi yang dilepaskan kepada publik nasional dan internasional. Dan para “manipulator” informasi ini tentu saja berguru kepada Dr. Joseph Goebbels sebagai mahaguru dalam urusan mempengaruhi opini masyarakat.
Lalu bagaimana dengan militer? Tentu saja militer juga bekerja untuk preventing the war, dengan show of force dalam berbagai bentuk. Tujuan dari show of force itu adalah untuk mempengaruhi pihak calon lawan sehingga membatalkan niatnya untuk perang atau konflik. Dan show of force hanya bisa dilakukan apabila jauh sebelum masa itu tiba, para pengambil keputusan politik telah membangun kekuatan militer, termasuk Angkatan Laut.
Mengenai winning the war, tentu saja itu sudah masuk pada domain militer dan tidak akan dibahas di sini. Sedangkan instrumen kekuatan nasional selain militer akan mendukung tercapainya tujuan dari operasi atau kampanye militer. Misalnya, instrumen diplomasi akan ‘bertempur” di kancah internasional, sementara instrumen ekonomi antara lain akan memasok kebutuhan dana buat operasi atau kampanye tersebut. Begitu pula dengan instrumen informasi yang akan “memanipulasi” informasi agar dunia internasional in favor of kepentingan kita.
Sekarang mari kita tarik ke dalam alam Indonesia? Adakah konsep attrition warfare yang berwujud Sishankamrata dan Sishanta menganut konsep preventing the war is as important as winning the war? Kalau asumsi untuk strategi perang saja sudah hopeless, lagi bagaimana dengan untuk preventing the war?
Konsep preventing the war is as important as winning the war apabila ditinjau dari perspektif perencanaan pertahanan merupakan sebuah konsep yang bagus. Banyak alasan untuk menyatakan konsep itu bagus, salah satunya adalah kesiapan menanggung cost yang harus dibayar untuk itu. Tentu saja cost-nya sudah diperhitungkan dengan benar dan berujung pada suatu ‘nilai” atau besaran yang mendekati pasti, bukan suatu cost yang tak terhingga seperti yang dianut oleh Sishankamrata maupun sishanta. Mengapa demikian?
Premis utama dari konsep itu adalah preventing the war. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan semua instrumen kekuatan nasional. Dengan kata lain, tidak semata mengandalkan kekuatan militer sebagai salah satu instrumen kekuatan nasional. Untuk preventing the war, sudah pasti ada cost yang harus dibayar ketika semua instrumen kekuatan nasional bekerja. Namun cost itu tentu saja sudah dikalkulasikan.
Untuk preventing the war, instrumen politik/diplomasi akan bekerja pada ranah antar bangsa. Instrumen ekonomi juga demikian, yang bagi kita yang bergelut di ranah strategi militer sulit memahami hutan rimba instrumen ekonomi itu. Instrumen ekonomi bukan sekedar soal penjatuhan sanksi perdagangan, pembatasan ekspor impor, tetapi juga mencakup pengendalian keluar masuk arus modal dan investasi ke negara sasaran. Sasarannya adalah membuat guncangan pada ekonomi negara sasaran, sehingga negara itu tidak melanjutkan langkahnya untuk berperang atau konflik dengan negara atau pihak lain.
Instrumen informasi bekerja “memanipulasi” informasi yang dilepaskan kepada publik nasional dan internasional. Dan para “manipulator” informasi ini tentu saja berguru kepada Dr. Joseph Goebbels sebagai mahaguru dalam urusan mempengaruhi opini masyarakat.
Lalu bagaimana dengan militer? Tentu saja militer juga bekerja untuk preventing the war, dengan show of force dalam berbagai bentuk. Tujuan dari show of force itu adalah untuk mempengaruhi pihak calon lawan sehingga membatalkan niatnya untuk perang atau konflik. Dan show of force hanya bisa dilakukan apabila jauh sebelum masa itu tiba, para pengambil keputusan politik telah membangun kekuatan militer, termasuk Angkatan Laut.
Mengenai winning the war, tentu saja itu sudah masuk pada domain militer dan tidak akan dibahas di sini. Sedangkan instrumen kekuatan nasional selain militer akan mendukung tercapainya tujuan dari operasi atau kampanye militer. Misalnya, instrumen diplomasi akan ‘bertempur” di kancah internasional, sementara instrumen ekonomi antara lain akan memasok kebutuhan dana buat operasi atau kampanye tersebut. Begitu pula dengan instrumen informasi yang akan “memanipulasi” informasi agar dunia internasional in favor of kepentingan kita.
Sekarang mari kita tarik ke dalam alam Indonesia? Adakah konsep attrition warfare yang berwujud Sishankamrata dan Sishanta menganut konsep preventing the war is as important as winning the war? Kalau asumsi untuk strategi perang saja sudah hopeless, lagi bagaimana dengan untuk preventing the war?
Itu baru strategi perang saja, sementara strategi mempunyai tiga elemen, salah satunya adalah ends. Ends dalam perang adalah winning the war. Lalu bagaimana bisa winning the war kalau strategi yang dianut sudah berangkat dari asumsi yang hopeless?