All hands,
Tahun 1947 merupakan masa-masa awal Perang Dingin, strategi pertahanan Amerika Serikat bersifat defensif. Dengan kawasan pelibatan di daratan Eropa, peran U.S. Navy adalah mengangkut pasukan U.S. Army dari CONUS ke Eropa Barat. Pasukan itu nantinya yang akan melaksanakan lawan ofensif terhadap serangan Uni Soviet.
Untuk melaksanakan peran tersebut, para perancang strategi U.S. Navy menekankan pentingnya pengendalian laut. Walaupun Stalin’s Big Fleet saat itu bukan merupakan ancaman yang seimbang terhadap armada kapal atas air U.S. Navy, namun tidak demikian dengan kekuatan bawah air Voenno-morskoj flot SSSR alias Angkatan Laut USSR. Kekuatan kapal selam VMF yang diproyeksikan untuk melindungi lambung gerakan kekuatan darat Uni Soviet dari laut, diyakini merupakan ancaman yang seimbang terhadap kapal atas air U.S. Navy.
Seperti diketahui, doktrin VMF saat itu adalah mendukung gerakan Raboche-Krest'yanskaya Krasnaya Armiya alias AD Uni Soviet, sehingga VMF seolah-olah subordinat dari RKKA. Baru ketika Fleet Admiral of the Soviet Union Sergei Georgiyevich Gorshkov diangkat menjadi C-in-C of VMF dari 1956-1985, VMF berkembang menjadi kekuatan laut global dan lepas dari bayang-bayang RKKA.
Kembali ke isu strategi pertahanan Amerika Serikat, saat itu memang berkembang pemahaman di U.S. Army bahwa dalam perang yang mungkin pecah di Eropa, peran U.S. Navy lebih banyak sebagai satuan pengangkut dan pengawal konvoi. Para Laksamana di Washington tentu saja tidak suka dengan peran itu, karena menempatkan Angkatan Laut pada peran pinggiran.
Perubahan strategi pertahanan Amerika Serikat mulai terjadi beberapa tahun kemudian melalui forward deployment. Untuk kekuatan laut, sebagian kekuatan U.S. Atlantic Fleet disebarkan secara permanen di beberapa pangkalan di Eropa dan Mediterania. Dengan forward deployment, kemampuan mereka merespon krisis yang muncul lebih cepat dibandingkan apabila semua kekuatan Angkatan Laut dipusatkan di Norfolk, Virginia.
Kalau diteliti, ada kesamaan antara strategi pertahanan Amerika Serikat 1947 dengan strategi pertahanan Indonesia 2009. Strategi pertahanan Indonesia saat ini masih bertumpu pada pulau besar dengan Pulau Jawa sebagai COG-nya. Apabila ada serangan terhadap pulau lain, maka kekuatan utama akan dikirim dari Pulau Jawa seperti tercermin dalam Latihan Gabungan TNI 2008. Tantangan utamanya tentu juga sama, yaitu bagaimana melaksanakan pengendalian laut dan sekaligus merespon krisis secara cepat.
Tahun 1947 merupakan masa-masa awal Perang Dingin, strategi pertahanan Amerika Serikat bersifat defensif. Dengan kawasan pelibatan di daratan Eropa, peran U.S. Navy adalah mengangkut pasukan U.S. Army dari CONUS ke Eropa Barat. Pasukan itu nantinya yang akan melaksanakan lawan ofensif terhadap serangan Uni Soviet.
Untuk melaksanakan peran tersebut, para perancang strategi U.S. Navy menekankan pentingnya pengendalian laut. Walaupun Stalin’s Big Fleet saat itu bukan merupakan ancaman yang seimbang terhadap armada kapal atas air U.S. Navy, namun tidak demikian dengan kekuatan bawah air Voenno-morskoj flot SSSR alias Angkatan Laut USSR. Kekuatan kapal selam VMF yang diproyeksikan untuk melindungi lambung gerakan kekuatan darat Uni Soviet dari laut, diyakini merupakan ancaman yang seimbang terhadap kapal atas air U.S. Navy.
Seperti diketahui, doktrin VMF saat itu adalah mendukung gerakan Raboche-Krest'yanskaya Krasnaya Armiya alias AD Uni Soviet, sehingga VMF seolah-olah subordinat dari RKKA. Baru ketika Fleet Admiral of the Soviet Union Sergei Georgiyevich Gorshkov diangkat menjadi C-in-C of VMF dari 1956-1985, VMF berkembang menjadi kekuatan laut global dan lepas dari bayang-bayang RKKA.
Kembali ke isu strategi pertahanan Amerika Serikat, saat itu memang berkembang pemahaman di U.S. Army bahwa dalam perang yang mungkin pecah di Eropa, peran U.S. Navy lebih banyak sebagai satuan pengangkut dan pengawal konvoi. Para Laksamana di Washington tentu saja tidak suka dengan peran itu, karena menempatkan Angkatan Laut pada peran pinggiran.
Perubahan strategi pertahanan Amerika Serikat mulai terjadi beberapa tahun kemudian melalui forward deployment. Untuk kekuatan laut, sebagian kekuatan U.S. Atlantic Fleet disebarkan secara permanen di beberapa pangkalan di Eropa dan Mediterania. Dengan forward deployment, kemampuan mereka merespon krisis yang muncul lebih cepat dibandingkan apabila semua kekuatan Angkatan Laut dipusatkan di Norfolk, Virginia.
Kalau diteliti, ada kesamaan antara strategi pertahanan Amerika Serikat 1947 dengan strategi pertahanan Indonesia 2009. Strategi pertahanan Indonesia saat ini masih bertumpu pada pulau besar dengan Pulau Jawa sebagai COG-nya. Apabila ada serangan terhadap pulau lain, maka kekuatan utama akan dikirim dari Pulau Jawa seperti tercermin dalam Latihan Gabungan TNI 2008. Tantangan utamanya tentu juga sama, yaitu bagaimana melaksanakan pengendalian laut dan sekaligus merespon krisis secara cepat.
Isu pengendalian laut merupakan pekerjaan rumah bagi kita saat ini. Begitu pula soal merespon krisis secara cepat. Pekerjaan rumah bukan saja bagi AL kita, tetapi bagi bangsa ini khususnya para pengambil keputusan di negeri ini.
Meskipun invasi terhadap Indonesia probabilitasnya kecil, tetapi kita hendaknya tidak mengabaikan potensi surgical strike. Surgical strike bisa muncul kapal saja, misalnya ketika ada kekuatan laut yang melintas di perairan yurisdiksi Indonesia merasa “terganggu” dan sebagai balasannya mereka diperintahkan oleh Presidennya untuk melaksanakan surgical strike terhadap Jakarta dan beberapa COG lainnya. Siapkah Indonesia dengan skenario surgical strike?
Meskipun invasi terhadap Indonesia probabilitasnya kecil, tetapi kita hendaknya tidak mengabaikan potensi surgical strike. Surgical strike bisa muncul kapal saja, misalnya ketika ada kekuatan laut yang melintas di perairan yurisdiksi Indonesia merasa “terganggu” dan sebagai balasannya mereka diperintahkan oleh Presidennya untuk melaksanakan surgical strike terhadap Jakarta dan beberapa COG lainnya. Siapkah Indonesia dengan skenario surgical strike?