All hands,
Perjanjian Kerangka Kerjasama Keamanan Indonesia-Australia atau lebih dikenal sebagai perjanjian Lombok 2006, salah satu cakupannya adalah keamanan maritim. Kalau kita kaji lebih lanjut, sulit untuk menghilangkan kesan bahwa dalam kerjasama keamanan maritim, Australia adalah pihak yang lebih banyak diuntungkan dengan Indonesia. Kenapa begitu?
Karena negeri di selatan itu berkepentingan agar para imigran ilegal dan nelayan Indonesia dapat dicegah masuk Australia jauh sebelum mencapai perairan Australia. Dengan kata lain, Indonesia menjadi bumper bagi keamanan maritim Australia. Kita terkesan hanya menjadi satpam bagi Australia, sehingga mereka aman tenteram sementara aparat keamanan maritim kita, khususnya AL, capek-capek operasi di laut.
Terus keuntungan yang kita dapat juga tidak jelas. Apa imbal balik yang diberikan Australia soal itu? Sepengetahuan saya sampai saat ini nggak jelas, kalau nggak mau bilang nggak ada. Entah itu yang sifatnya aset kapal, jaringan komunikasi dan lain-lain atau capacity building AL kita dalam arti luas.
Dalam kondisi demikian, Indonesia akan mengembangkan jaringan radar maritim di perairan Laut Timor dan sekitar pintu masuk ALKI III di sekitar Selat Ombai-Wetar. Jadi jaringan radarnya akan serupa dengan program section 1206 integrated maritime surveillance system (IMSS) di Selat Malaka.
Masalahnya bukan soal pengembangan jaringan radar itu, karena jelas itu akan meningkatkan kemampuan AL kita untuk amankan perairan Indonesia. Masalahnya adalah ada keinginan jaringan itu akan terhubung atau terkoneksi dengan jaringan radar maritim Australian Northern Command yang berbasis di Darwin.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah siapa yang akan lebih diuntungkan dengan kerjasama itu? Australia akan dapat mengakses data-data pergerakan kapal yang menuju Australia dan ketika dia menangkap ada sasaran mencurigakan, dia akan suruh kita periksa. Masalahnya di situ.
Soal Australia mampu deteksi pergerakan kapal di perairan Indonesia yang dekat dengan perbatasan dia, itu bukan hal yang aneh. Yang jadi masalah adalah kita yang jadi boarding team periksa kapal yang dicurigai itu ketika masih jauh dari perairan Australia. Gamblangnya, sangat terkesan kita jadi satpam dia.
Dalam konteks tantangan keamanan asimetris, nyaris tak ada tantangan yang datang dari perairan Australia menuju Indonesia. Yang ada dari arah sebaliknya. Betul bahwa kita masih waspadai soal Papua dan Maluku (RMS) yang sebagaian berbasis di Australia, tapi gerakan mereka sekarang tidak lagi mengandalkan pada sayap militer. Para pemberontak itu fokusnya pada sayap politik.
Rencana menghubungkan jaringan radar maritim di Kupang dengan radar maritim Australian Northern Command kalau kita kaji lebih jauh sebenarnya merupakan realisasi dari perjanjian kerjasama keamanan Indonesia-Australia, khususnya keamanan maritim. Yang perlu kita hiraukan dengan sangat adalah siapa yang lebih diuntungkan dengan berbagai bentuk kerjasama keamanan maritim itu. Australia atau Indonesia?
Perjanjian Kerangka Kerjasama Keamanan Indonesia-Australia atau lebih dikenal sebagai perjanjian Lombok 2006, salah satu cakupannya adalah keamanan maritim. Kalau kita kaji lebih lanjut, sulit untuk menghilangkan kesan bahwa dalam kerjasama keamanan maritim, Australia adalah pihak yang lebih banyak diuntungkan dengan Indonesia. Kenapa begitu?
Karena negeri di selatan itu berkepentingan agar para imigran ilegal dan nelayan Indonesia dapat dicegah masuk Australia jauh sebelum mencapai perairan Australia. Dengan kata lain, Indonesia menjadi bumper bagi keamanan maritim Australia. Kita terkesan hanya menjadi satpam bagi Australia, sehingga mereka aman tenteram sementara aparat keamanan maritim kita, khususnya AL, capek-capek operasi di laut.
Terus keuntungan yang kita dapat juga tidak jelas. Apa imbal balik yang diberikan Australia soal itu? Sepengetahuan saya sampai saat ini nggak jelas, kalau nggak mau bilang nggak ada. Entah itu yang sifatnya aset kapal, jaringan komunikasi dan lain-lain atau capacity building AL kita dalam arti luas.
Dalam kondisi demikian, Indonesia akan mengembangkan jaringan radar maritim di perairan Laut Timor dan sekitar pintu masuk ALKI III di sekitar Selat Ombai-Wetar. Jadi jaringan radarnya akan serupa dengan program section 1206 integrated maritime surveillance system (IMSS) di Selat Malaka.
Masalahnya bukan soal pengembangan jaringan radar itu, karena jelas itu akan meningkatkan kemampuan AL kita untuk amankan perairan Indonesia. Masalahnya adalah ada keinginan jaringan itu akan terhubung atau terkoneksi dengan jaringan radar maritim Australian Northern Command yang berbasis di Darwin.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah siapa yang akan lebih diuntungkan dengan kerjasama itu? Australia akan dapat mengakses data-data pergerakan kapal yang menuju Australia dan ketika dia menangkap ada sasaran mencurigakan, dia akan suruh kita periksa. Masalahnya di situ.
Soal Australia mampu deteksi pergerakan kapal di perairan Indonesia yang dekat dengan perbatasan dia, itu bukan hal yang aneh. Yang jadi masalah adalah kita yang jadi boarding team periksa kapal yang dicurigai itu ketika masih jauh dari perairan Australia. Gamblangnya, sangat terkesan kita jadi satpam dia.
Dalam konteks tantangan keamanan asimetris, nyaris tak ada tantangan yang datang dari perairan Australia menuju Indonesia. Yang ada dari arah sebaliknya. Betul bahwa kita masih waspadai soal Papua dan Maluku (RMS) yang sebagaian berbasis di Australia, tapi gerakan mereka sekarang tidak lagi mengandalkan pada sayap militer. Para pemberontak itu fokusnya pada sayap politik.
Rencana menghubungkan jaringan radar maritim di Kupang dengan radar maritim Australian Northern Command kalau kita kaji lebih jauh sebenarnya merupakan realisasi dari perjanjian kerjasama keamanan Indonesia-Australia, khususnya keamanan maritim. Yang perlu kita hiraukan dengan sangat adalah siapa yang lebih diuntungkan dengan berbagai bentuk kerjasama keamanan maritim itu. Australia atau Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar