05 November 2008

Air Warfare Frigate

All hands,
Salah satu ancaman terhadap kapal atas air berasal dari serangan udara lawan. Ancaman ini sama besar probabilitasnya dengan ancaman kapal selam. Oleh sebab itu, saat ini banyak negara mengadopsi kapal perang dengan fungsi asasinya air warfare. Entah itu air warfare destroyer seperti Australia atau air warfare frigate seperti Belanda. Belanda sejak 1980-an sudah mengoperasikan air warfare frigate kelas Van Tromp yang kini mulai pensiun dan dijual ke negara Eropa lainnya.
Dalam konteks Indonesia, menjadi pertanyaan apakah AL kita perlu kapal atas air dengan fungsi asasi pada air warfare. Menurut hemat saya kita butuh, karena AL kita nggak bisa sepenuhnya menggantungkan kemampuan perlindungan konvoi pada AU. AU juga mempunyai keterbatasan, nggak mungkin sepenuhnya bisa lindungi AL kita. Selain itu, juga masalah egoisme matra yang masih sulit dipupus.
Sebaiknya mulai kita pikirkan pengadaan air warfare frigate untuk jangka waktu 5-10 tahun ke depan. Kenapa jangkanya panjang? Sebab menyusun perencanaan pengadaan alutsista butuh waktu panjang, baik itu soal opsreq, menghitung life cycle cost dan lain sebagainya, hingga soal negosiasi anggaran di Bappenas dan Departemen Keuangan. Soalnya suatu program pengadaan bisa terealisasi bila disetujui masuk dalam Blue Book Bappenas. Kalau sudah masuk Blue Book, aman!!!
Selama ini fregat dan korvet yang kita punya fungsi asasinya lebih pada peperangan atas air dan bawah air. Sementara untuk peperangan udara masih belum diutamakan, yang dapat dilihat dari kemampuan senjata peperangan udara yang lebih pada senjata bela diri jarak dekat. Padahal radar hanudnya sudah bagus, misalnya di kelas Fatahillah dan Diponegoro.
Meskipun ada pihak yang menyatakan bahwa dalam 10-20 tahun ke depan nggak ada perang, tapi kita harus siap-siap bila setiap saat muncul kontinjensi. Dalam kondisi kontinjensi, sebagian besar kekuatan laut yang dikerahkan ke wilayah kontinjensi memerlukan 2-5 hari pelayaran, tergantung di mana wilayah kontinjensi dan dari titik mana Gugus Tugas AL kita bertolak.
Selama perjalanan menuju wilayah kontinjensi, sangat rawan terhadap ancaman lawan. Apalagi beberapa negara di sekitar Indonesia juga mengoperasikan kapal selam, selain pesawat tempur dengan radius tempurnya yang cukup jauh semisal SU-27/30 maupun F/A-18. Alhasil, konvoi AL kita sangat rentan terhadap serangan udara. Di situlah pentingnya air warfare frigate, karena AL nggak bisa sepenuhnya andalkan payung udara dari AU.
Selain di dalam perjalanan, sudah pasti di wilayah kontinjensi Gugus Tugas AL kita juga semakin rawan terhadap serangan udara lawan. Di situlah pentingnya pula air warfare frigate. Kita harus mengambil lesson learned dari operasi di Timor Timor 1999. Lesson learned tujuannya adalah mengambil pelajaran dari apa yang telah berlalu, bukan mencari siapa yang salah.

2 komentar:

llopez mengatakan...

SAya setuju sekali dgn pendapat anda...samapai sekarang TNI AL kita belum memiliki air warfare destroyer yang mumpuni..dulu saya pernah dengar rencana pembelian kapal klas air warfare destroyer dari blok timur,tapi mimpi tinggal mimpi,,bulan madu hanya mimpi.
Idealnya memang kita harus memiliki lagi sejumlah kapal selam dan juga kapal kapal yang memiliki kemampuan anti udara, karena ancaman terbesar dalam peperangan masa depan adalah serangan dari peluru kenali jarak jauh dari negara negara yang tidak memiliki niat baik dengan kita yaitu...........

Anonim mengatakan...

Saya sangat setuju dengan paparan Anda. Bahkan, dalam simulasi yang saya kembangkan, potensi serangan dari media udara (baik berupa pesawat tempur maupun rudal anti kapal) memiliki probabilitas paling tinggi dari segala macam serangan lainnya. Saya menilai bahwa air warfare frigate maupun air warfare destroyer merupakan suatu kebutuhan yg mutlak harus dipenuhi.

Kebetulan tempo hari saya juga membahas mengenai ini di TANDEF:
http://www.tandef.net/membentuk-postur-pertahanan-yang-tangguh-berdaya-tangkal-2