All hands,
Pengendalian laut mengenal ruang dan waktu, sebagai bentuk transformasi dari penguasaan laut. Kalau kita pelajari pemikiran Laksamana Muda Henry E. Eccles, pengendalian laut dapat berupa lima bentuk, seperti pengendalian kerja dan lainnya. Yang ingin dibahas di sini bukan soal bentuk-bentuk itu, tetapi pemahaman tentang pengendalian laut dalam kondisi kekinian.
Pengendalian laut masa kini dapat terlaksana apabila ada payung udara yang mendukungnya. Perubahan pemahaman ini sudah terjadi sejak Perang Dunia Kedua, ketika naval air wing memainkan peran vital dalam berbagai pertempuran laut di Samudera Pasifik. Tidak heran bila sebagian negara berkembang saat ini mulai mencoba mengikuti jejak negara-negara maju untuk memaksimalkan otot naval air wing, melalui pengadaan pesawat-pesawat tempur yang berpangkalan di atas kapal induk. Misalnya India dan Thailand yang mengoperasikan kapal induk beserta pesawat tempur.
Pertanyaannya, bagaimana hubungannya dengan Angkatan Udara. Ini memang menjadi perdebatan klasik di negara-negara berkembang, khususnya yang Angkatan Lautnya mengarah pada proyeksi kekuatan. Tidak mungkin mengharapkan payung udara dari Angkatan Udara ketika beroperasi jauh dari pangkalan, karena pesawat tempur Angkatan Udara memiliki keterbatasan endurance. Di situlah peran yang diisi oleh naval air wing, yaitu melindungi konvoi Gugus Tugas Angkatan Laut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Secara ideal, AL kita harus mempunyai naval air wing yang mumpuni, termasuk aset pesawat tempur. Namun kondisi nyata belum memungkinkan hal itu, sehingga pilihan realistis dan juga satu-satunya adalah mengandalkan pada payung udara dari AU. Masalahnya adalah TNI belum mempunyai budaya operasi gabungan. Itu masalah pokoknya!!!
AU terkesan tidak mau menjadi unsur pendukung dalam operasi di laut, dia maunya selalu jadi unsur utama. Juga tidak mau di bawah kendali AL, melainkan di bawah kendali AU sendiri. Bagaimana mungkin ada pihak yang beroperasi di domain maritim tetapi nggak mau di bawah kendali AL?
Masalah itu bisa terpecahkan bila ada doktrin operasi gabungan. TNI nggak punya itu, yang ada hanyalah Doktrin TNI yang isinya filosofis, bicara langit. Doktrin TNI bukan doktrin operasi gabungan. Memang betul ada Buku Petunjuk Opsgab, tetapi isinya sudah lawas. Seharusnya dimutakhirkan sesuai dengan kondisi kekinian dan sebanyak mungkin mengikis ego matra. Tanpa itu, pengendalian laut sulit untuk kita laksanakan, bahkan di perairan kita sendiri.
Pengendalian laut mengenal ruang dan waktu, sebagai bentuk transformasi dari penguasaan laut. Kalau kita pelajari pemikiran Laksamana Muda Henry E. Eccles, pengendalian laut dapat berupa lima bentuk, seperti pengendalian kerja dan lainnya. Yang ingin dibahas di sini bukan soal bentuk-bentuk itu, tetapi pemahaman tentang pengendalian laut dalam kondisi kekinian.
Pengendalian laut masa kini dapat terlaksana apabila ada payung udara yang mendukungnya. Perubahan pemahaman ini sudah terjadi sejak Perang Dunia Kedua, ketika naval air wing memainkan peran vital dalam berbagai pertempuran laut di Samudera Pasifik. Tidak heran bila sebagian negara berkembang saat ini mulai mencoba mengikuti jejak negara-negara maju untuk memaksimalkan otot naval air wing, melalui pengadaan pesawat-pesawat tempur yang berpangkalan di atas kapal induk. Misalnya India dan Thailand yang mengoperasikan kapal induk beserta pesawat tempur.
Pertanyaannya, bagaimana hubungannya dengan Angkatan Udara. Ini memang menjadi perdebatan klasik di negara-negara berkembang, khususnya yang Angkatan Lautnya mengarah pada proyeksi kekuatan. Tidak mungkin mengharapkan payung udara dari Angkatan Udara ketika beroperasi jauh dari pangkalan, karena pesawat tempur Angkatan Udara memiliki keterbatasan endurance. Di situlah peran yang diisi oleh naval air wing, yaitu melindungi konvoi Gugus Tugas Angkatan Laut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Secara ideal, AL kita harus mempunyai naval air wing yang mumpuni, termasuk aset pesawat tempur. Namun kondisi nyata belum memungkinkan hal itu, sehingga pilihan realistis dan juga satu-satunya adalah mengandalkan pada payung udara dari AU. Masalahnya adalah TNI belum mempunyai budaya operasi gabungan. Itu masalah pokoknya!!!
AU terkesan tidak mau menjadi unsur pendukung dalam operasi di laut, dia maunya selalu jadi unsur utama. Juga tidak mau di bawah kendali AL, melainkan di bawah kendali AU sendiri. Bagaimana mungkin ada pihak yang beroperasi di domain maritim tetapi nggak mau di bawah kendali AL?
Masalah itu bisa terpecahkan bila ada doktrin operasi gabungan. TNI nggak punya itu, yang ada hanyalah Doktrin TNI yang isinya filosofis, bicara langit. Doktrin TNI bukan doktrin operasi gabungan. Memang betul ada Buku Petunjuk Opsgab, tetapi isinya sudah lawas. Seharusnya dimutakhirkan sesuai dengan kondisi kekinian dan sebanyak mungkin mengikis ego matra. Tanpa itu, pengendalian laut sulit untuk kita laksanakan, bahkan di perairan kita sendiri.
1 komentar:
Parah .. Parah banget dengernya ...
ohhh seperti inilah nasib negaraku ... ternyata di laut kita tidak jaya ... di udarapun "sami mawon" ..
Kapan sih kita bisa merubah pola pikir kita dari berorientasi Darat ke Laut dan Udara ..
Jangan NATO dong ...
Posting Komentar