All hands,
Dalam operational art, space-time-force merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Terkait dengan space, faktor itu selalu bersifat dinamis, dapat berukuran luas atau sempit, selalu mempunyai jarak dan juga terkait dengan posisi geostrategis. Pihak yang mempunyai posisi geostrategis yang lebih menguntungkan dipastikan akan mengeksploitasi hal tersebut semaksimal mungkin.
Sebagai contoh, dalam Perang Dingin akses Angkatan Laut Uni Soviet ke Samudera Atlantik dari Laut Barents terhalangi oleh posisi Swedia (Pulau Greenland) dan Norwegia. Kapal atas air dan kapal selam Rusia yang hendak keluar masuk Samudera Atlantik harus melalui wilayah perairan yang terbentang di antara Pulau Greenland dan Norwegia. Di tengah perairan itu, terdapat Pulau Jan Mayen yang merupakan tuan rumah bagi fasilitas eavesdropping NATO untuk memantau pergerakan Angkatan Laut Uni Soviet. Di perairan itu pula dibangun sistem deteksi bawah air (SOSUS) untuk memantau pergerakan kapal selam Uni Soviet, dikenal sebagai GIUK (Greenland-Iceland-United Kingdom).
Soal posisi geostrategis Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Namun masalahnya bangsa ini tidak melihat peluang bagaimana memanfaatkan potensi itu. Termasuk pula dalam hal membangun kemampuan untuk operasi maritim. Dan terlalu sempit kalau semua ini dibebankan kepada AL kita, karena AL kita berada dalam sistem pertahanan nasional dan hanya satu dari sekian aktor.
Dengan mempunyai empat dari sembilan choke points strategis dunia, semestinya kita bisa eksploitasi itu. Selain menutup salah satu choke points sebagai opsi bila kita tidak senang dengan tindakan negara-negara tertentu di sekitar Indonesia, perairan itu juga dapat dieksploitasi bagi kepentingan peperangan kapal selam. Di antaranya adalah membangun jaringan sistem deteksi bawah air di sana.
Hal itu merupakan pekerjaan besar, oleh karena itu kurang tepat bila dibebankan kepada AL kita saja. Harus ada dukungan teknis dan anggaran dari instansi-instansi terkait. Dukungan teknis misalnya soal teknologi sistem deteksi bawah air yang sepertinya dikuasai oleh BPPT dan LIPI, sedangkan anggaran terkait dengan Departemen Pertahanan dan Departemen Keuangan.
Kalau saya nggak salah, beberapa tahun lalu sebenarnya AL kita pernah mencoba memasang prototipe sistem deteksi bawah air di Selat Lombok. Celakanya, alat itu rusak karena nelayan kita ternyata profesinya bukan cuma cari ikan, tapi juga pemulung yang nggak bisa lihat barang bagus di tengah laut. Soal mereka jadi pemulung apakah karena alasan profesi atau karena disuruh Australia, saya tak bisa pastikan. Jadi kasusnya mirip dengan peralatan deteksi tsunami yang hilang dan rusak beberapa waktu terakhir.
Menurut saya, yang mendesak untuk dipasang sistem deteksi bawah air adalah perairan di sekitar Kepulauan Riau dan ALKI II, dari Selat Lombok hingga Selat Makassar. Kenapa begitu? Kapal selam Singapura, Malaysia (nantinya) dan Australia suka bermanuver di sekitar perairan-perairan itu. Apalagi waktu kasus jatuhnya pesawat Boeing B-737 Adam Air PK-KKW di Selat Makassar 1 Januari 2007, pemerintah Indonesia dengan tulus, lugu, pura-pura tidak pintar dan mungkin didorong oleh semangat ASEAN mengundang pesawat patroli maritim Singapura untuk mempelajari ALKI II, khususnya Selat Makassar.
Soal sistem deteksi bawah air terkait dengan space ini memang manfaatnya mungkin belum akan terasa sekarang, tetapi nanti ketika suatu saat muncul konflik. Dalam konflik militer, space memainkan peran penting dan semua pihak yang terlibat akan berupaya mengeksploitasinya semaksimal mungkin.
Dalam operational art, space-time-force merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Terkait dengan space, faktor itu selalu bersifat dinamis, dapat berukuran luas atau sempit, selalu mempunyai jarak dan juga terkait dengan posisi geostrategis. Pihak yang mempunyai posisi geostrategis yang lebih menguntungkan dipastikan akan mengeksploitasi hal tersebut semaksimal mungkin.
Sebagai contoh, dalam Perang Dingin akses Angkatan Laut Uni Soviet ke Samudera Atlantik dari Laut Barents terhalangi oleh posisi Swedia (Pulau Greenland) dan Norwegia. Kapal atas air dan kapal selam Rusia yang hendak keluar masuk Samudera Atlantik harus melalui wilayah perairan yang terbentang di antara Pulau Greenland dan Norwegia. Di tengah perairan itu, terdapat Pulau Jan Mayen yang merupakan tuan rumah bagi fasilitas eavesdropping NATO untuk memantau pergerakan Angkatan Laut Uni Soviet. Di perairan itu pula dibangun sistem deteksi bawah air (SOSUS) untuk memantau pergerakan kapal selam Uni Soviet, dikenal sebagai GIUK (Greenland-Iceland-United Kingdom).
Soal posisi geostrategis Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Namun masalahnya bangsa ini tidak melihat peluang bagaimana memanfaatkan potensi itu. Termasuk pula dalam hal membangun kemampuan untuk operasi maritim. Dan terlalu sempit kalau semua ini dibebankan kepada AL kita, karena AL kita berada dalam sistem pertahanan nasional dan hanya satu dari sekian aktor.
Dengan mempunyai empat dari sembilan choke points strategis dunia, semestinya kita bisa eksploitasi itu. Selain menutup salah satu choke points sebagai opsi bila kita tidak senang dengan tindakan negara-negara tertentu di sekitar Indonesia, perairan itu juga dapat dieksploitasi bagi kepentingan peperangan kapal selam. Di antaranya adalah membangun jaringan sistem deteksi bawah air di sana.
Hal itu merupakan pekerjaan besar, oleh karena itu kurang tepat bila dibebankan kepada AL kita saja. Harus ada dukungan teknis dan anggaran dari instansi-instansi terkait. Dukungan teknis misalnya soal teknologi sistem deteksi bawah air yang sepertinya dikuasai oleh BPPT dan LIPI, sedangkan anggaran terkait dengan Departemen Pertahanan dan Departemen Keuangan.
Kalau saya nggak salah, beberapa tahun lalu sebenarnya AL kita pernah mencoba memasang prototipe sistem deteksi bawah air di Selat Lombok. Celakanya, alat itu rusak karena nelayan kita ternyata profesinya bukan cuma cari ikan, tapi juga pemulung yang nggak bisa lihat barang bagus di tengah laut. Soal mereka jadi pemulung apakah karena alasan profesi atau karena disuruh Australia, saya tak bisa pastikan. Jadi kasusnya mirip dengan peralatan deteksi tsunami yang hilang dan rusak beberapa waktu terakhir.
Menurut saya, yang mendesak untuk dipasang sistem deteksi bawah air adalah perairan di sekitar Kepulauan Riau dan ALKI II, dari Selat Lombok hingga Selat Makassar. Kenapa begitu? Kapal selam Singapura, Malaysia (nantinya) dan Australia suka bermanuver di sekitar perairan-perairan itu. Apalagi waktu kasus jatuhnya pesawat Boeing B-737 Adam Air PK-KKW di Selat Makassar 1 Januari 2007, pemerintah Indonesia dengan tulus, lugu, pura-pura tidak pintar dan mungkin didorong oleh semangat ASEAN mengundang pesawat patroli maritim Singapura untuk mempelajari ALKI II, khususnya Selat Makassar.
Soal sistem deteksi bawah air terkait dengan space ini memang manfaatnya mungkin belum akan terasa sekarang, tetapi nanti ketika suatu saat muncul konflik. Dalam konflik militer, space memainkan peran penting dan semua pihak yang terlibat akan berupaya mengeksploitasinya semaksimal mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar