All hands,
Dalam operasi besar atau kampanye, operasi gabungan merupakan suatu keharusan. Tidak ada lagi operasi militer masa kini maupun masa depan yang tak menggunakan moda operasi gabungan. Makin rumitnya ancaman yang dihadapi, terjadinya revolution in military affairs dengan segala implikasinya, bertambahnya dimensi ruang tempur sehingga menjadi battlespace adalah alasan-alasan mengapa operasi gabungan merupakan satu-satunya pilihan.
Tantangan dalam melaksanakan operasi gabungan cukup besar, khususnya bagi militer negara-negara yang belum terbiasa dengan operasi gabungan. Menggabungkan tiga matra militer untuk bertempur di battlespace yang sama tanpa meninggalkan karakteristik, nature, doktrin dan ciri khas masing-masing merupakan pekerjaan yang tidak gampang.
Militer di negara-negara maju sejak lama telah terbiasa dengan operasi gabungan, sehingga ketika tiba masanya di mana operasi gabungan merupakan keharusan, langkah mereka tidak terlalu berat. Mereka tinggal menyusun sejumlah perangkat lunak yang terkait dengan operasi gabungan berdasarkan pengalaman mereka selama berpuluh-puluh tahun dari berbagai operasi yang pernah dilaksanakan. Dari situ lahirlah berbagai joint publication sesuai bidangnya, misalnya logistik, personel, operasi, intelijen dan lain sebagainya.
Termasuk pula dalam perangkat lunak itu adalah peta-peta gabungan. Maksudnya, semua matra militer menggunakan peta yang sama untuk bertempur di battlespace yang sama. Khususnya peta topografi, karena pergerakan pasukan gabungan maupun sasaran yang harus dihancurkan berada di medium daratan. Sedangkan medium laut dan udara boleh dikatakan relatif independen, dalam arti di kedua medium yang bertempur masih didominasi oleh masing-masing matra terkait.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Sudah kita siap dengan peta tempur gabungan sebagai bagian dari persiapan andaikata suatu saat nanti ada kontinjensi? Medan tempur kita sudah jelas, kita akan bertempur di wilayah yurisdiksi sendiri, bukan menyerbu ke negara lain.
Pengalaman operasi di Timor Timur tahun 1975-1980 menunjukkan bahwa saat itu militer kita sangat tidak terbiasa dengan operasi gabungan. Tidak sedikit korban di pihak kita yang jatuh karena blue on blue. Sebagian kasus blue on blue terjadi karena peta yang digunakan tidak sama, padahal kita bertempur dalam battlefield yang sama.
Korban blue on blue antara lain terjadi dalam permintaan bantuan tembakan kapal (BTK) alias naval gunfire support dan juga bantuan tembakan pesawat. Dalam BTK, pasukan di pantai menggunakan peta yang tidak sama dengan peta yang dipegang oleh para perwira di kapal perang. Posisi koordinat xx0 xx’ xx’’ yang ada di peta pasukan di pantai berbeda posisinya dengan yang ada di peta yang dipegang di kapal perang.
Akibatnya, alih-alih menewaskan musuh, BTK malah blue on blue. Namun kapal perang juga tidak bisa disalahkan, karena mereka melakukan BTK sesuai dengan koordinat yang diminta oleh pasukan di darat/pantai dan berdasarkan perhitungan di peta mereka. Titik masalahnya adalah ketidaksamaan peta yang digunakan, sehingga koordinat yang sama pun berbeda posisinya di peta.
Apakah kita sekarang sudah berubah dan mengambil lesson learned dari situ? Harapannya begitu. Semoga apa yang dilihat masyarakat umum dalam Latihan Gabungan TNI 2008 khususnya waktu fase BTK memang demikian adanya sehinga tingkat blue on blue dapat dikurangi.
Namun secara pribadi saya khawatir, karena sepengetahuan saya, peta tempur gabungan (PTG) yang dipunyai oleh militer kita sangat terbatas sekali. PTG menggabung peta laut dengan peta topografi. Mungkin saya keliru, namun yang saya ketahui PTG yang ada itu cuma untuk wilayah Natuna.
PTG itu dibuat sebelum Latihan Gabungan ABRI 1996, sehingga tak heran bila dalam Latihan Gabungan TNI 2008 kembali pulau itu dijadikan wilayah manuver. Kalau di Sangata kemarin, tidak pakai PTG.
Dalam operasi besar atau kampanye, operasi gabungan merupakan suatu keharusan. Tidak ada lagi operasi militer masa kini maupun masa depan yang tak menggunakan moda operasi gabungan. Makin rumitnya ancaman yang dihadapi, terjadinya revolution in military affairs dengan segala implikasinya, bertambahnya dimensi ruang tempur sehingga menjadi battlespace adalah alasan-alasan mengapa operasi gabungan merupakan satu-satunya pilihan.
Tantangan dalam melaksanakan operasi gabungan cukup besar, khususnya bagi militer negara-negara yang belum terbiasa dengan operasi gabungan. Menggabungkan tiga matra militer untuk bertempur di battlespace yang sama tanpa meninggalkan karakteristik, nature, doktrin dan ciri khas masing-masing merupakan pekerjaan yang tidak gampang.
Militer di negara-negara maju sejak lama telah terbiasa dengan operasi gabungan, sehingga ketika tiba masanya di mana operasi gabungan merupakan keharusan, langkah mereka tidak terlalu berat. Mereka tinggal menyusun sejumlah perangkat lunak yang terkait dengan operasi gabungan berdasarkan pengalaman mereka selama berpuluh-puluh tahun dari berbagai operasi yang pernah dilaksanakan. Dari situ lahirlah berbagai joint publication sesuai bidangnya, misalnya logistik, personel, operasi, intelijen dan lain sebagainya.
Termasuk pula dalam perangkat lunak itu adalah peta-peta gabungan. Maksudnya, semua matra militer menggunakan peta yang sama untuk bertempur di battlespace yang sama. Khususnya peta topografi, karena pergerakan pasukan gabungan maupun sasaran yang harus dihancurkan berada di medium daratan. Sedangkan medium laut dan udara boleh dikatakan relatif independen, dalam arti di kedua medium yang bertempur masih didominasi oleh masing-masing matra terkait.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Sudah kita siap dengan peta tempur gabungan sebagai bagian dari persiapan andaikata suatu saat nanti ada kontinjensi? Medan tempur kita sudah jelas, kita akan bertempur di wilayah yurisdiksi sendiri, bukan menyerbu ke negara lain.
Pengalaman operasi di Timor Timur tahun 1975-1980 menunjukkan bahwa saat itu militer kita sangat tidak terbiasa dengan operasi gabungan. Tidak sedikit korban di pihak kita yang jatuh karena blue on blue. Sebagian kasus blue on blue terjadi karena peta yang digunakan tidak sama, padahal kita bertempur dalam battlefield yang sama.
Korban blue on blue antara lain terjadi dalam permintaan bantuan tembakan kapal (BTK) alias naval gunfire support dan juga bantuan tembakan pesawat. Dalam BTK, pasukan di pantai menggunakan peta yang tidak sama dengan peta yang dipegang oleh para perwira di kapal perang. Posisi koordinat xx0 xx’ xx’’ yang ada di peta pasukan di pantai berbeda posisinya dengan yang ada di peta yang dipegang di kapal perang.
Akibatnya, alih-alih menewaskan musuh, BTK malah blue on blue. Namun kapal perang juga tidak bisa disalahkan, karena mereka melakukan BTK sesuai dengan koordinat yang diminta oleh pasukan di darat/pantai dan berdasarkan perhitungan di peta mereka. Titik masalahnya adalah ketidaksamaan peta yang digunakan, sehingga koordinat yang sama pun berbeda posisinya di peta.
Apakah kita sekarang sudah berubah dan mengambil lesson learned dari situ? Harapannya begitu. Semoga apa yang dilihat masyarakat umum dalam Latihan Gabungan TNI 2008 khususnya waktu fase BTK memang demikian adanya sehinga tingkat blue on blue dapat dikurangi.
Namun secara pribadi saya khawatir, karena sepengetahuan saya, peta tempur gabungan (PTG) yang dipunyai oleh militer kita sangat terbatas sekali. PTG menggabung peta laut dengan peta topografi. Mungkin saya keliru, namun yang saya ketahui PTG yang ada itu cuma untuk wilayah Natuna.
PTG itu dibuat sebelum Latihan Gabungan ABRI 1996, sehingga tak heran bila dalam Latihan Gabungan TNI 2008 kembali pulau itu dijadikan wilayah manuver. Kalau di Sangata kemarin, tidak pakai PTG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar